Kepala BPS Suhariyanto menyatakan angka surplus produksi dan realisasi impor beras tak bisa disamakan. Artinya stok beras impor sejatinya tetap digudangkan oleh Bulog. Menurutnya meski beras dalam posisi surplus, ada sejumlah catatan terkait ketersediaannya yang menyebar di masyarakat, sehingga sulit dikelola langsung oleh pemerintah.
Sebagaimana telah disebutkan di atas surplus beras ini tidak hanya di satu tempat, tetapi menyebar ke beberapa titik seperti rumah tangga produsen, rumah tangga konsumen, pedagang, penggilingan, hotel, dan kemudian di Bulog. “Pengelolaan beras yang bisa dilakukan pemerintah hanya yang berada di Bulog,” kata Suhariyanto di Jakarta, Rabu (24/10/2018).
Mengacu pada Survei Kajian Cadangan Beras (SKCB) tahun 2015, di sektor rumah tangga produsen sebesar 44% sedangkan di rumah tangga konsumen sebesar 3%. Jumlah rumah tangga produsen secara nasional ada 14,1 juta rumah tangga. Alhasil, penyebaran beras per tahun untuk 1,25 juta ton rumah tangga produsen hanya terdapat surplus 7,5 kilogram per bulan.
Bulog yang memiliki pasokan tidak sampai 10% dalam total produksi pun menjadi andalan pemerintah dalam kegiatan intervensi pasokan. Terlebih situasi beras pada Oktober, November, Desember, dan Januari yang berada posisi defisit karena konsumsi akan lebih besar daripada produksi akibat memasuki masa tanam dan minim panen.
Terkait keputusan impor, Suhariyanto menyatakan berdasarkan data yang ada saat ini memang terbukti terjadi surplus. Namun kondisi ini berbeda dengan saat Januari awal tahun dimana Bulog melaporkan stok di gudang di bawah 800.000 ton. “Situasi beras mengkhawatirkan sehingga terjawab mengapa keputusan impor ditetapkan,” ujar Suhariyanto.
BPS mencatat potensi produksi beras kuartal IV 2018 hanya akan mencapai 3,94 juta ton dengan perkiraan konsumsi sebanyak 7,45 juta ton. Sehingga, BPS menduga akan ada defisit neraca beras sebesar 3,51 juta ton pada tiga bulan terakhir 2018.
Secara rinci dia mencatat, luas panen pada Oktober sebesar 527 ribu ton dengan produksi beras 1,52 juta ton; luas panen pada November 410 ribu hektare dengan produksi 1,20 juta ton; serta luas panen Desember 431 ribu ton dengan produksi 1,22 juta ton.
Direktur Pengadaan Bulog Bachtiar menyampaikan saat ini di gudang Bulog terdapat stok 2,5 juta ton beras. Angka ini terdiri dari pengadaan dalam negeri sebesar 950.000 ton dan pengadaan luar negeri, alias impor, yang sudah terealisasi di 1,5 juta ton.
Menurut Anak Buah Budi Waseso (Buwas) ini, tingkat serapan harian Bulog diperkirakan sebesar 1.000 ton per hari, adapun target serap hingga 2 juta ton yang diberikan pemerintah tahun ini bisa tercapai dengan kondisi tertentu. “Kalau harga cocok,” katanya.
Pasalnya, Bulog membeli beras di harga Rp8.030 per kilogram sedangkan harga beras telah melambung padahal sebagai BUMN, kini Bulog harus mencetak profit. Namun demikian, Bachtiar menyampaikan bakal tetap melakukan sesuai penugasan pemerintah dalam melakukan serap sesuai target.
Ketua Umum APT2PHI Rahman Sabon Nama memiliki sejumlah catatan terhadap data pangan baru BPS. Dia mengingatkan agar Pemerintah ekstra hati-hati dalam penyajian data. Agar terhindar dari kesan atau opini publik bahwa Pemerintah telah membohongi rakyat dengan penyajian data produksi padi yang rendah, dan luas lahan menyusut.
“Jangan semata-mata hanya untuk membenarkan alasan Pemerintah melakukan impor beras pada awal 2019 nanti,” ungkap Rahman.
Ia melanjutkan bahwa rapat yang tidak dihadiri Menteri Pertanian Andi Amran dan Ketua Bulog Budi Waseso itu jangan sampai keliru dalam membuat kebijakan terkait anggaran dan impor beras.
Jangan sampai, dengan alasan produksi yang rendah dan lahan sawah semakin berkurang, pemerintah kemudian menambah anggaran untuk tambahan impor beras. “Apabila hal ini dilakukan, maka akan semakin merugikan petani dan rakyat,” tegas Rahman.
Oleh karenanya, Rahman yang juga Dewan Pakar Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (HKTI) menambahkan, pemerintah harus akurat dalam hal merilis data terkait Neraca Produksi dan Kebutuhan Padi dan Beras Nasional.
Oleh: Arbie Marwan