Gedung Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Aktual/HO

Kasus dugaan korupsi kuota haji di Kementerian Agama tahun 2023-2024 terus menjadi sorotan publik. Nilai kerugian yang diperkirakan mencapai Rp1 triliun membuat kasus ini masuk kategori besar.

Namun hingga kini Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) belum juga menetapkan tersangka meski sudah mencegah sejumlah nama bepergian ke luar negeri. Situasi ini memunculkan anggapan bahwa KPK mulai kehilangan arah dalam mengusut kasus yang sejak awal disebut berpotensi menyeret sejumlah nama besar.

Pakar Hukum Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, menilai KPK sejatinya telah memiliki landasan kuat untuk melanjutkan perkara ini. Ia menegaskan bahwa pencekalan terhadap pejabat negara, termasuk Menteri Agama, menjadi indikasi adanya bukti awal yang cukup.

“Menteri agamanya sudah dicekal kan, KPK mestinya ada bukti, ya kan? Tapi buktinya mungkin belum cukup. Saya kira sih tinggal menunggu waktu aja ya, KPK pasti sudah ada ini. Kalau enggak, enggak mungkin KPK mencekal gitu,” ujarnya, di Jakarta, Senin (29/9/2015).

Menurut Chudry, modus utama kasus ini terlihat dari dugaan permainan harga dan manipulasi distribusi kuota antara haji reguler dan haji plus. Ia menyoroti adanya dugaan markup harga tiket dan praktik jual-beli kuota yang menyimpang dari ketentuan undang-undang maupun peraturan menteri agama.

“Artinya siapapun yang dari ini entah menteri atau siapa, PNS-nya itu ya, pasti tahu bahwa itu di-mark up gitu kan, harga tiketnya itu juga ya. Saya kira pembuktian apa yang sulit, saya kira enggak ada itu-nya, kesulitannya,” kata dia.

Chudry menambahkan, pembuktian sebenarnya bukan hambatan utama karena dokumen, saksi, dan keterangan lain sudah tersedia. Tantangan justru berada pada konsistensi KPK dalam menjaga independensi penyelidikan agar tidak terpengaruh tekanan politik. “Saya kira sih ini ya, nunggu waktu aja gitu ya, asal jangan ada tekanan,” tuturnya.

Dari sisi regulasi, celah hukum yang dimanfaatkan terletak pada mekanisme pemindahan kuota. Ia menjelaskan bahwa tambahan kuota dari pemerintah Arab Saudi seharusnya lebih dulu diprioritaskan untuk jamaah reguler. Namun dalam praktiknya, sebagian dialihkan menjadi kuota haji plus dengan biaya lebih tinggi.

“Itu kan ada peraturan menteri agama, yang undang-undang haji itu kan, yang dilanggar itu kan. Itu kan yang regular itu dipindahkan menjadi yang plus gitu kan,” jelasnya.

Chudry juga mengingatkan bahwa KPK tidak bisa gegabah dalam menetapkan tersangka. Sesuai aturan, dibutuhkan minimal dua alat bukti yang sah agar penetapan tidak mudah digugat melalui praperadilan. “Untuk menetapkan tersangka kan sekarang, menurut aturannya itu, harus ada dua alat bukti gitu lho. Nah alat buktinya yang ini, KPK hati-hati nggak mau sampai kalau dia tetapkan tersangka, ngajuin praperadilan, terus KPK-nya kalah,” tegasnya.

Ia menegaskan bahwa penghentian penyidikan bukanlah opsi yang bisa diambil sembarangan. Prosedurnya sangat ketat sehingga kecil kemungkinan KPK tiba-tiba menghentikan perkara ini tanpa alasan hukum yang jelas. “Apalagi aturan KPK, ikuti aturan KPK kalau sudah melakukan penyedikan, untuk menghentikan penyidikan itu sangat ketat, ininya, syarat-syaratnya sangat ketat. Tidak sembarangan lah KPK mau mengeluarkan surat penghentikan SP3,” pungkasnya.

Reporter: Ahmad

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto