Jakarta, Aktual.com – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menanggapi serius kritikan yang dilontarkan Menko Polhukam, Mahfud MD. Awalnya calon wakil presiden nomor urut 3 ini menyinggung soal operasi tangkap tangan (OTT) KPK, namun kemudian sindiran tersebut dia ralat yang kemudian dia menyinggung mekanisme penetapan tersangka di KPK yang terkadang belum cukup bukti.

Kritikan Mahfud MD ini mendapat respon dari Ketua KPK Sementara, Nawawi Pomolango yang menjawab kritikan tersebut dengan pernyataan serangkaian kerja pemberantasan korupsi di KPK telah memiliki mekanisme yang jelas. KPK juga selalu mengedepankan pemenuhan hak asasi manusia dalam pengungkapan kasus korupsi, bantah Nawawi.

Benarkah demikian?

Sejak Polda Metro Jaya menetapkan Firli Bahuri sebagai tersangka kasus pemerasan terhadap Mantan Menteri Pertanian Syahrul Yasin Limpo (SYL), pada Rabu (22/11/2023) lalu, dan dilantiknya Nawawi sebagai Ketua KPK Sementara sejak (27/11/2023), KPK nampaknya sampai saat ini masih belum berbenah untuk mengembalikan kepercayaan publik terhadap lembaga anti-rasuah ini.

Padahal sudah banyak desakan dan dorongan serta harapan kepada Nawawi untuk berani memperbaiki apa yang sudah terlanjur rusak di KPK, baik dari LSM dan aktivis Pegiat Antikorupsi. Menurut mereka penetapan Firli Bahuri sebagai tersangka tidak mengejutkan. Sebab, sepak terjang mantan Ketua KPK itu begitu kontroversial.

Firli Bahuri tercatat sebagai satu-satunya pimpinan KPK yang paling sering diadukan ke Dewas KPK dengan kontroversinya, antara lain pernah dilaporkan oleh Koordinator MAKI Boyamin Saiman karena menggunakan helikopter milik perusahaan swasta dalam perjalanan untuk kepentingan pribadi dari Palembang ke Baturaja pada 20 Juni 2020.

Selain itu ICW juga pernah melaporkan dugaan pelanggaran etik Ketua KPK Firli Bahuri, terkait Operasi Tangkap Tangan (OTT) pejabat Universitas Negeri Jakarta di kasus pungli THR. Dalam laporannya, ICW menilai Firli bersikukuh mengambilalih kasus yang saat itu dilakukan Inspektorat Jenderal Kemendikbud. Padahal, Plt Direktur Pengaduan Masyarakat (Dumas) KPK, Aprizal sudah menjelaskan bahwa setelah tim pengaduan masyarakat melakukan pendampingan, ternyata tidak ditemukan adanya unsur penyelenggara negara.

Kemudian, Firli Bahuri juga sempat menuai kontroversi usai menemui Gubernur Papua Lukas Enembe di kediamannya pada Jumat, 4 November 2022. Padahal, saat itu status Lukas Enembe telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK di kasus korupsi APBD Papua dan gratifikasi.

Dengan ditetapkannya Firli Bahuri sebagai tersangka dugaan pemerasan oleh Polda Metro Jaya, publik beranggapan mungkin ada kasus-kasus pemerasan lain yang dilakukan terhadap tersangka atau calon tersangka lainnya. Namun sayang hal ini enggan disampaikan ke publik, dikarenakan tersandera statusnya oleh KPK.

Selain itu ada juga kasus terkesan dipaksakan pada era Firli yang belum kunjung tertuntaskan hingga sekarang yakni terkait impor LNG Pertamina dari Corpus Christi Liquefaction (CCL). Kasus ini mulai diselidiki oleh KPK sejak 12 Maret 2021.

Kuat dugaan kasus ini mandek dikarenakan adanya keterlibatan mantan Wakil Ketua KPK, Lili Pantauli yang diduga menerima gratifikasi dari Pertamina berupa tiket dan akomodasi penginapan menonton MotoGP di sirkuit Mandalika, pada 21 Maret 2022.

Dewas KPK pun pernah menyatakan Lili Pintauli telah berhubungan dengan PT Pertamina (Persero) yang merupakan pihak yang sedang berperkara yang dilakukan secara tidak langsung, melanggar kode etik dan kode perilaku Pasal 4 ayat 2 huruf a Peraturan Dewan Pengawas KPK Nomor 03 Tahun 2021 tentang Penegakan Kode Etik dan Penegakan Kode Perilaku Komisi Pemberantasan Korupsi.

Dewas KPK menilai pemberian tiket nonton Moto GP dan akomodasi di Mandalika untuk stakeholders KPK dari PT Pertamina dinilai telah melanggar kode etik dan kode perilaku dalam Pasal 4 ayat 2 huruf b Peraturan Dewas KPK No 3 Tahun 2021.

Namun sayangnya untuk menghindari putusan sidang etik Dewas KPK, Lili Pantauli akhirnya memilih mundur dari jabatannya di KPK pada 30 Juni 2022, karena pada 11 Juli 2022 Presiden Jokowi menerima pengunduran diri Lili Pantauli, memaksa Dewas KPK menghentikan sidang etik Lili karena tidak lagi menjadi organik KPK.

KPK akhirnya menghentikan penyidikan kasus dugaan gratifikasi ini pada awal 2023, walaupun KPK beranggapan kasus gratifikasi Lili ini tak ada kaitannya dengan kasus LNG yang tengah disidik oleh KPK. Sehingga pantaslah kemandekan kasus ini perlu ditinjau ulang.

Mengaapa demikian?

Karena KPK dalam mengusut kasus ini telah mengeluarkan Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) sejak 6 Juni 2022, dengan menetapkan Mantan Dirut Pertamina, Karen Agustiawan dan kawan-kawan sebagai tersangka. Namun sampai sekarang tidak ada kejelasan siapa “kawan-kawan” yang dimaksud.

Alih-alih mengungkap siapa “kawan-kawan” tersebut, pada 19 September 2023 setelah 1 tahun 3 bulan, KPK yang baru sekali melakukan pemeriksaan kepada Karen Agustiawan malah justru melakukan penahanan. Hingga 11 Desember 2023 ini, artinya KPK sudah 1 tahun 6 bulan lebih menetapkan Karen sebagai tersangka, dan belum ada kejelasan kapan dimulainya sidang pokok perkara.

Tentunya hal ini adalah pelanggaran atas Hak Asasi Manusia yang luar biasa, karena harus mentersangkakan seorang nenek tua (65) 1 tahun 6 bulan lamanya. Jika KPK yakin memiliki bukti yang kuat bahwa Karen Agustiawan telah menyebabkan kerugian negara, semestinya perkara ini cepat selesainya, tapi nyatanya kasus ini sudah hampir 3 tahun lamanya.

Lamanya kasus ini dilimpahan ke Pengadilan, bisa jadi KPK belum bisa menemukan dua unsur utama delik korupsi yaitu unsur perbuatan melawan hukum atau penyalahgunaan wewenang yang dilakukan oleh Karen dan unsur kerugian negara. Kedua unsur ini mutlak ada untuk merumuskan dakwaan tindak pidana korupsi Pasal 2 dan/atau Pasal 3 Undang-Undang Tipikor.

Bisa juga fakta unsur perbuatan melawan hukum dan penyalahgunaan wewenang direkayasa dari kesalahan-kesalahan kecil yang dicari-cari. Namun unsur kedua delik yaitu kerugian negara, sudahlah pasti tidak dapat ditemukan, sebab saat ini kontrak LNG CCL ini sudah menghasilkan untung sebesar USD91,5 juta per Desember 2023. Sehingga sudah tidak lagi menjadi kerugian negara seperti yang dituduhkan saat pertama kali KPK memulai penyelidikan kasus ini.

Dari dua kasus antara KPK dan Pertamina, memunculkan pertanyaan penting, ada apakah antara Pertamina dan KPK? Apakah ada keterlibat pimpinan KPK lain, selain Firli? Jika Nawawi benar-benar serius memberikan bantahan terhadap sindiran Mahfud MD, seharusnya Nawawi lebih serius lagi meninjau ulang kasus-kasus yang menjadi kontroversi selama Firli menjadi Ketua dengan melakukan gelar perkara internal KPK. Bahkan jika perlu Nawawi melakukan penangguhan atau terbitkan SP3 jika menemukan kasus-kasus yang terkesan dipaksa.

(Redaksi Aktual)

Artikel ini ditulis oleh:

Arbie Marwan