Jakarta, Aktual.com — Kasus BUMN utang miliaran rupiah ke para vendor lokal kembali terulang. Persoalan ini terungkap sejak 2020 lalu, saat BUMN Karya menunggak pembayaran hingga 5 tahun kepada para vendor pemasok bahan konstruksi.
Kini, muncul juga keluhan sama dari para vendor konstruksi, dan pengusaha UMKM bidang katering di proyek Ibu Kota Nusantara (IKN). Mereka mengaku belum menerima pembayaran miliaran rupiah hingga saat ini.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (CELIOS) Galau D Muhammad menyampaikan, persoalan tersebut jauh lebih kompleks daripada sekadar likuiditas. Menurutnya, masalah itu mencerminkan kegagalan perencanaan proyek yang tidak mempertimbangkan risiko finansial dan politik secara matang.
“Ini bukan sekadar mismatch finansial, tapi cerminan lemahnya perencanaan dalam program strategis. Pergeseran politik yang terjadi belakangan punya konsekuensi besar terhadap struktur pengelolaan yang berdampak pada keterlambatan pembayaran vendor,” ujarnya dalam wawancara bersama Aktual.com di Jakarta, Minggu (25/10/2025).
Ia menjelaskan, banyak proyek strategis nasional (PSN) berjalan tanpa dukungan anggaran yang pasti sejak awal. Sehingga, katanya, beban keuangan beralih ke BUMN dan vendor domestik. Akibatnya, para pemasok dan subkontraktor kecil menjadi pihak paling rentan ketika arus kas perusahaan negara itu terganggu.
“Beberapa program berjalan tanpa jelas sumber anggarannya dari mana. Ketika perencanaan tidak matang dan arah pembangunan berganti, yang jadi korban adalah vendor-vendor lokal,” tambah Galau.
Galau menilai, pemerintah harus menjadikan masalah tunggakan BUMN ke para vendor sebagai prioritas audit dan restrukturisasi menyeluruh. Ia juga mendorong adanya kejelasan pembayaran dan skema pelunasan utang agar para vendor tidak terus terjerat kerugian.
“Vendor-vendor domestik ini sebenarnya tulang punggung pembangunan. Jangan biarkan mereka menanggung beban utang dan janji pembayaran yang tak kunjung ditepati. Itu sama saja kita sedang menghancurkan ekosistem usaha nasional dari bawah,” katanya.
Galau menegaskan, masalah ini sebetulnya bukan hanya urusan neraca keuangan BUMN, tetapi juga soal keadilan ekonomi. Kalau BUMN gagal menunaikan tanggung jawabnya pada vendor kecil, berarti negara gagal melindungi pelaku ekonomi yang menjadi pondasi pembangunan.
Adanya BPI Danantara sebagai super holding BUMN, menurutnya, membuka peluang pengelolaan aset yang lebih efesien. Namun, ia memperingatkan, hal itu tidak otomatis menyelesaikan akar masalah tunggakan BUMN.
“Membawa risiko baru. Karena kerugian di dalamnya tidak lagi dilihat sebagai kerugian negara, melainkan konsekuensi bisnis. Padahal, pengawasan di Danantara sendiri belum jelas dan belum ketat,” ujarnya.
Ia menegaskan, jika mekanisme kontrolnya lemah, maka utang-utang lama BUMN terhadap vendor bisa berulang dalam skema baru ini.
“Pak Prabowo harus menegur keras para menteri yang terlibat, karena tanpa reformasi tata kelola, masalah lama hanya berganti baju,” pungkas Galau.
Laporan: Taufik Akbar Harefa
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















