Jakarta, Aktual.com – Program pengampunan pajak (tax amnesty) yang digadang-gadang akan berhasil dan dapat mendukung penerimaan negara dari sektor pajak, terancam gagal untuk mencapai targetnya.
Hal ini terjadi karena para wajib pajak (WP) besar atau kalangan pengusaha masih belum percaya dengan pemerintah dalam mengelola fiskalnya. Sehingga mereka enggan mengikuti program tax amnesty ini.
“Besarnya penolakan untuk membayar pajak di dalam negeri, sekalipun sudah ada tax amnesty, hal ini menunjukkan kesan di publik buruknya reputasi pengelolan fiskal dari Kabinet Kerja yang selama ini terjadi,” tandas pengamat ekonomi politik senior, Ichsanuddin Noorsy saat dihubungi, Minggu (11/9).
Menurut Ichsan, buruknya pengelolaan fiskal pemerintah ini diamini juga oleh Presiden Joko Widodo. Selama ini, Jokowi malah kerap menyebutkan program tax amnesty ini hanya menyasar WP besar dan tidak menyasar ke kalangan menengah ke bawah.
“Padahal, sejak kapan konsep pajak itu tidak mengenal kalangan atas-bawah? Pajak itu menyasar semua. Hal ini menujukkan Presiden sendiri mengakui bahwa pengelolaan fiskal selama ini sangat amburadul. Reputasi yang buruk itu membuat publik jadi tak tertarik untuk ikut tax amnesty,” tegas dia.
Sejauh ini pemerintah sendiri menargetkan dana tebusan pajak dari tax amnesty sebanyak Rp165 triliun, sedang target repatriasinya mencapai Rp1.000 triliun dan target deklarasi mencapai Rp4.000 triliun. Namun pencapaian dari target-target tersebut masih di bawah 5 persen.
Kondisi pengelolaan fiskal yang buruk seperti itu, kata Ichsan, membuat WP yang orang-orang kaya itu menjadi krisis kepercayaan terhadap pemerintah. Baik itu Presiden sendiri yang sebagai pemimpin pengelola fiskal maupun terhadap Menteri Keuangan yang sebagai pemegang kuasa untuk mengelola fiskal pemerintah.
Untuk itu, kata dia, pemerintah mesti kreatif dalam mencari WP-WP besar di luar negeri agar dana repatriasi itu bisa cepat dipulangkan. Terutama pemerintah harus bisa mengejar para WP orang kaya yang memiliki private company yang selama ini perusahaannya belum tercatat (listed) di pasar modal sebagai perusahaan terbuka (go public).
“Dan mereka (private company) itu jumlahnya banyak di luar negeri. Mestinya harus terus dikejar. Sehingga mereka mau dengan kerelaan untuk membayar pajak,” jelas dia.
Cuma masalahnya, kata dia, selama reputasi fiskal yang dikelola itu tidak dengan baik karena APBN sendiri masih tidak sehat, membuat publik masih enggan dengan sukarela untuk membayar pajak.
“Sekalipun konsep pajak di kita lebih mengenal pewajib pajak (tax obligator) bukan seperti di AS yang ada kerelaan untuk membayar pajak (tax payer), tapi selama reputasi fiskal masih buruk tetap akan susah,” ucap Ichsan.
Ditambah lagi, lanjut Ichsan, untuk memulangkan dana yang ada di luar negeri atau merepatriasinya, masih terganjal dengan perjanjian jaminan perlindungan investasi antar negara. Seperti Indonesia-Singapura atau Indonesia-AS.
“Padahal uang orang kita yang ditaruh di luar negeri paling banyak ada di Singapura. Jadi meski ada tax amnesty, tidak otomatis dana itu akan pulang kembali. Karena masih ada perjanjian, sehingga investasi di sana masih dilindungi dan juga terkena pajak ganda,” pungkas dia.
*Bustomi
Artikel ini ditulis oleh: