Mantan Deputi Kesejahteraan dan Perlindungan Anak Kemenko PMK Rachmat Sentika mengatakan penderita stunting memerlukan asupan yang tidak memerlukan pencernaan dari enzim sehingga dapat pulih dalam waktu seketika.
Ia mencatat perlunya pemberian diet dan ketersediaan pangan khusus, seperti formula 75 dan formula 100, termasuk edukasi cara membuatnya, hingga kemudahan mendapatkannya di pasaran.
Solusi tersebut tidak perlu menimbulkan kontroversi dan serangan kepada industri sebab langkah tersebut bukan untuk menggantikan peran ASI atau kebutuhan gizi balita yang alami.
Rachmat menyambut baik keputusan Kepala BPOM Nomor 1/2018 tentang olahan pangan untuk gizi khusus yang memungkinkan intervensi racikan khusus untuk gizi buruk.
Menurut dia, keputusan tersebut merupakan terobosan besar yang memungkinkan solusi tercepat dalam hal pengatasan gizi buruk di Tanah Air.
Industri pun harus diundang untuk terlibat memproduksi solusi untuk gizi buruk agar bisa mengatasi dengan segera persoalan stunting di Indonesia.
Sekali lagi ditekankan perlunya sinergi dan kepemimpinan dalam upaya menanggulangi gizi buruk.
Pemerintah, menurut Rachmat, harus mengambil kendali untuk melibatkan seluruh pihak, khususnya industri, agar tergerak menyelesaikan persoalan stunting.
Ketersediaan pangan khusus untuk keperluan intervensi ketika mulai terlihat “faltering growth” (perlambatan pertumbuhan) sudah selayaknya bisa masuk dalam sistem jaminan kesehatan nasional.
Sebab, pangan khusus tersebut bukan semata susu formula melainkan asupan sumber pangan yang telah diracik khusus sebagaimana diatur WHO dan Codex Alimentarius Maka cara-cara inklusif dengan melibatkan multipihak untuk menangani persoalan stunting pun tak bisa ditawar lagi mengingat jika masih saja diterapkan pendekatan yang sama dalam mengatasi potensi gizi buruk hampir tidak mungkin untuk mengharapkan hasil berbeda yang lebih baik.
Dalam praktiknya tidak pernah ada proses yang mengkhianati hasil.
Paradigma Baru Dalam Rencana Pembangunan Menengah Nasional (RPJMN), pemeritah menargetkan penurunan dari prevalensi stunting dari status awal 32,9 persen, turun menjadi 28 persen pada 2019.
Artikel ini ditulis oleh: