Sekitar 7,2 juta orang tercatat sebagai korban setelah 50 tahun perseteruan abadi antara pemerintah Kolombia dan kelompok pemberontak Revolutionary Armed Forces of  Colombia (FARC).

Presiden Juan Manuel Santos yang terpilih lagi pada 2014 lalu membuat terobosan penting untuk menyelesaikan konflik setengah abad yang tidak kunjung selesai itu. Dia meminta pemerintah dan FARC duduk bersama. Kembali bersatu, mendorong terjadinya rekonsiliasi nasional agar Kolombia tidak lagi menjadi bulan-bulanan kepentingan asing.

Mereka akhirnya sepakat membentuk sebuah tim independen untuk mencatat dan mendokumentasikan sejarah konflik. Dalam kerangka besar bingkai perdamaian dan rekonsiliasi di Kolombia, ternyata mereka bisa bertemu dan berbagi cerita sejarah apa adanya.

Tim yang terdiri dari beberapa pakar itu akhirnya menyelesaikan tugasnya. Sebuah report berupa dokumen setebal sekitar 800 halaman itu benar-benar memperlihatkan apa yang sebenarnya terjadi selama 50 tahun konflik. Dokumen itu mampu menjelaskan secara clear: siapa saja yang harus bertanggung jawab atas 7,2 juta orang korban konflik bersenjata antara pemerintah dan pemberontak.

Yang menarik, dan ini patut diapresiasi. Dokumen itu ternyata tidak hanya berkutat menyalahkan pemerintah dan pemberontak. Namun peran besar asing (Amerika Serikat) juga terkuak dengan jelas. “The US has actively supported Colombia’s armed forces in trying to combat drug trafficking, and leftist rebel groups like the FARC and ELN that have been deeply involved in the drug trade to finance their war against the Colombian state,” seperti ditulis di laman latino.foxnews.com (7/4).

Namun, yang paling menarik perhatian internasional adalah soal kasus kekerasan seksual yang dilakukan oknum militer AS. Dukumen itu mencatat ada sekitar 2004 kasus kekerasan seksual terjadi. Ada kasus juga dimana seorang anak perempuan diperkosa tentara AS di sekitar kantor kontraktor militer milik AS, lalu “and sold the films as pornographic material.”

Yang membuat sakit rakyat Kolombia adalah ketika pengadilan di Kolombia tidak bisa menahan pelaku kekerasan seksual tersebut karena alasan pelaku memiliki hak imunitas diplomatik. “There exists abundant information about the sexual violence, in absolute impunity thanks to the bilateral agreements and the diplomatic immunity of United States officials”, demikian disebut dalam dokumen tersebut.

Lalu, apa makna penting dokumen itu?

Bagi rakyat Kolombia, dokumen itu menjelaskan secara jelas bahwa bukan hanya pemerintah Kolombia (baca: negara) dan FARC yang salah dan yang harus bertanggungjawab. Tapi Amerika Serikat juga harus bertanggungjawab atas konflik multidimensional itu.

Bagi pemerintah Kolombia, dokumen itu menjadi tonggak penting untuk membangun Kolombia ke depan. Perdamaian akan memudahkan pemerintah, kelompok pemberontak dan rakyat secara bersama untuk membangun Kolumbia menjadi negara yang berdaulat, damai dan sejahtera.

Untuk kepentingan geopolitik negara-negara di kawasan Amerika Latin, dokumen ini bisa menjadi contoh penting untuk menyelesaikan beberapa konflik menahun antara pemerintah dan oposisi (pemberontak) yang terjadi di beberapa negara Amerika Latin di luar Kolombia. Terutama, konflik yang dibelakangnya ada kepentingan Amerika Serikat.

Memang, akhirnya, Presiden Juan Manuel Santos dan kelompok FARC sepakat bahwa dokumen ini akan jadi modal penting negara untuk bahan negoisasi dan diplomasi dengan Amerika Serikat soal beberapa isu di Kolombia dan Amerika Latin.

Apa pentingnya buat Indonesia?

Ingat, ada beberapa maslah HAM di Indonesia yang tidak pernah selesai secara tuntas mulai dari G30S PKI, Papua, Timor Timur, Mei 1998 sampai Munir. 

Seyogyanya, Pemerintah harus mulai memikirkan agar cara Presiden Juan Manuel Santos itu bisa terjadi di Indonesia. Artinya, pemerintah harus mampu meyakinkan semua pihak bahwa penyelesaian HAM besar di Indonesia semangatnya bukan untuk mencari kesalahan. Namun untuk menjelaksan ke rakyat apa sebenarnya yang terjadi. Tidak ada lagi upaya untuk menutup-nutupi.

Ini penting, Jangan sampai penyelesaian kasus HAM justru berujung saling menyalahkan antara negara dan rakyat. Saling cakar-cakaran antara pemerintah dan rakyat. Harus bisa dijelaskan juga, peran besar asing di setiap kasus HAM yang terjadi di Indonesia. Baik di kasus G30S PKI, kasus Papua Merdeka sampai kasus Mei 1998.

Rakyat harus paham apa sebenarnya yang terjadi. Bahwa beberapa masalah HAM besar yang terjadi di Indonesia ternyata tak lepas dari peran dan intervensi asing.

Kalau keterlibatan asing juga mampu dijelaskan juga dengan clear, maka penyelesaian kasus-kasus HAM dan rekonsiliasi mungkin bisa terjadi dengan lancar. Dan bisa jadi modal diplomatik bagi pemerintah untuk di tingkat internasional.

Akankah ini bisa terjadi?

Artikel ini ditulis oleh: