Kedua, kegaduhan terjadi adanya wacana kebijakan penyederhanaan tarif listrik. Masyarakat konsumen listrik panik, karena wacana tersebut diduga hanya sebagai kedok untuk menaikkan tarif listrik. Masyarakat sangat khawatir karena saat ini tarif dasar listrik dirasa sangat mahal dan memukul daya beli konsumen.

Ketiga, kegaduhan lain dan melanggar hak-hak publik adalah masalah penerapan GNNT (Gerakan Nasional Non Tunai). Dalam hal ini terdapat dua pelanggaran hak-hak publik, yakni pemaksaan penggunaan non tunai bagi konsumen, khususnya untuk e-toll. Padahal seharusnya konsumen diberikan ruang untuk tetap menggunakan akses tunai dalam bertransaksi tol. Pengenaan fee untuk isi ulang juga bentuk pelanggaran hak-hak konsumen. Sekalipun tidak besar, pengenaan biaya saat isi ulang kepada konsumen adalah bentuk ketidakadilan bagi konsumen. Seharusnya konsumen diberikan insentif, bukan disinsentif. Kegaduhan-kegaduhan itu terjadi oleh karena faktor miskinnya konsultasi publik terhadap kebijakan tersebut.

4. Klimaks dari ketidakberdayaan negara dalam melindungi kepentingan konsumen dan kepentingan publik ditandai pula dengan kebijakan yang berorientasi pro pasar (market oriented) terhadap semua kebijakan publik, baik dalam konteks kebijakan tarif dan atau stabilisasi stok kebutuhan pangan. Dalam hal tarif dasar listrik dan atau harga bahan bakar minyak, adalah bukti kuat negara sangat pro terhadap tekanan pasar untuk menaikkan tarif/harga. Di sisi yang lain, kebijakan impor bahan pangan seperti beras, juga bukti negara ingkar janji untuk tidak melakukan impor bahan pangan untuk memasok rakyatnya. Ingkar janji, sebab dalam masa kampanye pilpres Presiden Jokowi tegas menyatakan tidak akan melakukan impor bahan pangan.

5. Dalam memasok kebutuhan energi sebagai kebutuhan dasar di kelas menengah bawah, negara masih tampak kedodoran. Gas elpiji 3 kg adalah buktinya. Satu tahun ini distribusi gas elpiji 3 kg semakin terdistorsi sehingga masyarakat menengah bawah harus mengantri berjam-jam dan dengan harga yang mahal pula untuk mendapatkan satu tabung gas elpiji 3 kg. Faktor disparitas harga dan distribusi yang kian terbuka menjadi penyebab utama. Apalagi di tengah lemahnya pengawasan. Untuk kebutuhan BBM dengan lebijakan satu harga, pun terbukti hanya manis di atas kertas saja. Dana ratusan milyar hilang sia-sia, karena pasokan BBM satu harga justru dirusak oleh penyalur-penyalur lokal yang melibatkan oknum pejabat daerah. Kemunduran serius justru dilakukan oleh Kementerian ESDM, yang membolehkan SPBU swasta menjual BBM dengan kualitas rendah, setara premium. Padahal, produk BBM dengan RON 88/89 sangat jauh dari ideal, karena belum lulus _Euro_ 1. Sementara regulasi nasional dan standar internasional mewajibkan untuk Euro 4.

6. Trend pengaduan konsumen 2017. Per November 2017, YLKI menerima 301 pengaduan dari konsumen secara tertulis (belum dihitung pengaduan via online). Dari 301 pengaduan, sektor perbankan masih menduduki rating teratas, dengan 24 persen pengaduan. Kemudian disusul pengaduan sektor ketenagalistrikan (PT PLN sebagai teradu) dengan 14 persen. Dan rating ketiga adalah sektor perumahan dengan 11 persen, sektor _leasing_ 8 persen, dan sektor telekomunikasi 6 persen. Tingginya pengaduan sektor perbankan selama 6 (enam) tahun terakhir menunjukkan pengawasan oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) belum optimal. Bisa dikatakan OJK masih gagal untuk meningkatkan performa dan kinerja sektor perbankan dan _financial services_ di Indonesia.

7. Kriminalisasi konsumen oleh pelaku usaha. Hal yang ironis pada 2017 adalah fenomena kriminalisasi konsumen oleh pelaku usaha. Konsumen yang bersikap kritis untuk memperjuangkan haknya justru dikriminalisasi oleh pelaku usaha. Contoh kasus teraktual adalah kasus Acho, komedian tunggal, yang dijadikan tersangka oleh pengelola Green Pramuka. Dan anehnya pihak kepolisian langsung cepat memproses laporan semacam ini oleh pelaku usaha. Padahal di sisi yang lain saat ini justru banyak terjadi pelanggaran pidana oleh pelaku usaha dalam ranah hak-hak konsumen, tetapi respon polisi tidak secepat jika yang terduga melanggar adalah konsumen.

8. Dalam hal kesehatan publik, khususnya dalam konteks preventif promotif, negara juga masih kedodoran. Hal ini ditandai dengan dominannya penyakit katastropik pada pasien BPJS. Dan inilah yang menyebabkan finansial BPJS mengalami pendarahan serius. Pada 2016 BPJS merugi Rp 9 triliun dan pada 2017 diprediksi merugi Rp 12 triliun. Penyebab utama itu semua adalah perilaku tidak sehat. Tingginya aktivitas merokok di kalangan masyarakat sangat mengkhawatirkan. Ironisnya pemerintah masih galau untuk menaikkan cukai rokok, terbukti kenaikan cukai rokok hanya 10,14 persen. Sangat rendahnya cukai rokok akan menyebabkan harga rokok masih terjangkau bagi anak-anak, remaja dan orang miskin. Dalam hal ini pemerintah in konsisten.

Artikel ini ditulis oleh: