Bangunan Tanpa Izin
Salah satu hal yang menyedot perhatian dalam polemik reklamasi Teluk Jakarta sepanjang tahun ini adalah berdirinya bangunan di dua pulau buatan tersebut, yaitu Pulau C dan D. Selain tanpa Izin Mendirikan Bangunan (IMB), bangunan berupa rumah toko (ruko) dan properti mewah lain ini juga dibangun saat moratorium reklamasi masih berlangsung.
Hal ini pun membuat KSTJ melaporkannya kepada Ombudsman RI atas dugaan maladministrasi pelaksanaan reklamasi Pulau C dan D, khususnya terkait bangunan ilegal yang terdapat di kedua pulau tersebut pada 9 Maret 2017 lalu. Dugaan maladministrasi ini juga berkaitan dengan terbitnya Peraturan Gubernur Nomor 206 Tahun 2016 tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Pergub ini sendiri diterbitkan oleh Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada 25 Oktober 2016, atau hanya dua hari sebelum dia memasuki cuti masa kampanye Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) DKI Jakarta. Ahok sendiri memang terdaftar sebagai Calon Gubernur (Cagub) dalam Pilkada DKI Jakarta 2017. Dalam kontestasi tersebut, sang petahana yang berpasangan Djarot Saeful Hidayat ini akhirnya dipecundangi oleh pasangan calon (paslon) Anies Baswedan dan Sandiaga Uno.
Kembali ke Pergub 206/2016, penerbitan ini baru diketahui oleh khalayak ramai tiga bulan setelah Pergub ini diteken oleh Ahok.
Wakil Ketua Fraksi Gerindra DPRD DKI, Prabowo Soenirman mempertanyakan langkah Gubernur DKI non aktif yang mengeluarkan Peraturan Gubernur (Pergub) tentang Panduan Rancang Kota Pulau C, Pulau D dan Pulau E Hasil Reklamasi Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta.
Menurut Prabowo, Pergub ini sangat ganjil lantaran waktu penerbitannya sangat berdekatan dengan masa cuti Pilkada.
“Ini seperti ada ketakutan Ahok tidak balik lagi ke Balai Kota (kalah), sehingga dia merasa harus segera menerbitkan Pergub itu untuk kenyamanan para pengembang,” kata Prabowo pada 17 Januari 2017.
Isi Pergub tersebut tidak sesuai dengan Peraturan Daerah (Perda) DKI Jakarta Nomor 8 tahun 1995 Tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Rencana Tata Ruang Kawasan Pantai Utara Jakarta. Perda DKI Nomor 8 Tahun 1995 merupakan aturan turunan dari Keppres 52/1995.
Kecaman yang sama pun datang dari perwakilan KSTJ, Marthin Hadiwinata. Ia bahkan menuding Pergub 206/2016 berpotensi menyalahi hukum.
“Peraturan ini mengatur tentang bagaimana desain reklamasi. Masalahnya, desain reklamasi waktu itu berbeda jauh dengan yang berkembang saat ini,” jelas Martin saat konferensi pers di LBH Jakarta, 16 Januari 2017.
Martin mengatakan bahwa Pergub 206 Tahun 2016 ini tidak berdasar pada Kajian Lingkungan Hidup Strategis yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 46 Tahun 2016. PP ini sendiri mewajibkan adanya perumusan rencana tata ruang wilayah beserta rencana rincinya.
“Prosesnya dilakukan secara diam-diam, tidak transparan dan sangat tidak bertanggung jawab,” tegas Martin.
Pergub ini dianggap menyalahi aturan karena tidak didahului Peraturan mengenai Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil (RZWP3K) sebelumnya. Padahal dalam UU Nomor 27 Tahun 2007 tentang pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil sebagaimana telah diubah dengan UU No 1 Tahun 2014, RZWP3K wajib diterbitkan oleh sebuah Pemerintah Kabupaten/Kota ataupun Pemerintah Provinsi terkait pembangunan di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil.
Semua masalah di atas belum ditambahkan dengan masih berlakunya moratorum reklamasi saat Pergub tersebut diterbitkan.
Secara sederhana, gambaran tentang kisruh dari Pulau C dan D adalah sudah terbentuknya pulau saat masalah perizinan dan peraturannya belum tuntas. Hal ini menjadi semakin buruk saat ditemui pembangunan properti dalam kedua pulau ilegal ini saat moratorium (larangan) masih berlangsung. Betapa dahsyat upaya para kaki tangan pemodal demi proyek ini terus berjalan, karena sangat jelas telah mengangkangi hukum dan yang lebih parah, membohongi rakyat negara ini.
Berdasarkan data Pemerintah Provinsi DKI Jakarta per Januari 2016, PT Kapuk Naga Indah (PT KNI) selaku pengembang Pulau C dan D, hanya mengantongi izin untuk menggarap kedua pulau buatan seluas 279 hektar (Pulau C) dan 312 hektar (Pulau D).
Setahun setelah moratorium, PT KNI memang memfasilitasi digelarnya sidang pembahasan Amdal Pulau C dan D untuk memperbaiki kekurangan dalam Amdal kedua pulau buatan itu sejak akhir Maret 2017. Dalam moratorium reklamasi memang disebutkan pihak pengembang dapat memperbaiki kekurangan Amdal dengan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.
Namun belakangan, Pemprov DKI melalui Kepala Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (Kadis CKTR) DKI, Benny Agus Chandra, telah mengakui adanya pelanggaran yang dilakukan oleh PT KNI dalam mendirikan bangunan di Pulau C dan D.
“Kalau dia (pengembang) kesalahannya adalah membangun mendahului izin,” ucap Benny di Jakarta, pada 14 November 2017.
Menurutnya, hal ini sudah diketahui Dinas Cipta Karya dan Tata Ruang (CKTR) DKI Jakarta sebelum diterbitkannya moratorium oleh pemerintah pusat pada 2016 lalu. Tidak hanya itu, Dinas CKTR bahkan sempat berencana membongkar paksa bangunan yang terdapat di Pulau C dan Pulau D.
“Surat perintah pembongkaran ada, tapi kemudian PT Kapuk Naga Indah memohon toleransi kebijakan,” jelas Benny.
Selain itu, lanjutnya, permohonan dari pengembang juga didasari oleh masih digodoknya Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Rencana Zona Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil (RZWP3K) dan Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta (RTRKS Pantura Jakarta) yang seharusnya terbit sebelum pembangunan pulau dilaksanakan.
Singkat cerita, dengan segala kisruh dan kerumitan layaknya benang kusut yang tak terurai, pemerintah pusat justru mencabut moratorium reklamasi melalui surat Menko Maritim bernomor S-78-001/02/Menko/Maritim/X/2017 pada Oktober 2017 lalu. Surat ini sendiri diterbitkan berdasar dua surat permohonan dari Gubernur Jakarta bernomor 1849/-1.794.3 pada 23 Agustus 2017 lalu dan 2019/-1.794.2 pada 2 Oktober 2017 perihal Permohonan Peninjauan Kembali Moratorium Reklamasi.
“Sehubungan dengan hal tersebut, dengan ini diberitahukan bahwa penghentian sementara (moratorium) pembangunan Proyek Reklamasi Teluk Jakarta (sebagaimana dalam surat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Nomor 27.1/Menko/Maritim/IV/2016, tanggal 19 April 2016), dinyatakan dicabut dan tidak berlaku lagi,” demikian kutipan dari surat tersebut.
Dua bulan sebelumnya, pemerintah pusat juga telah memberikan sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) Pulau C dan D kepada Pemprov DKI Jakarta. Selang beberapa hari kemudian, (BPN) Jakarta Utara menerbitkan sertifikat hak guna bangunan (HGB) bagi dua pulau hasil reklamasi di teluk Jakarta, pulau C dan pulau D, tepatnya pada 24 Agustus 2017.
Sertifikat HGB diurus setelah Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/BPN menerbitkan sertifikat hak pengelolaan lahan (HPL) Pulau D atas nama Pemerintah Provinsi DKI Jakarta pada 19 Juni 2017. Sertifikat HGB kemudian diterbitkan Kantor Pertanahan Jakarta Utara pada 24 Agustus 2017, selang 66 hari setelah diterbitkannya HPL oleh Kementerian ATR/BPN.
Padahal dalam Peraturan Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2010, disebutkan, penerbitan Sertifikat HGB pihak berbadan hukum untuk lahan non pertanian yang luasnya lebih dari 150 ribu meter persegi, sekurang-kuranfnya membutuhkan waktu 97 hari.
Dalam sertifikat HGB, surat ukur nomor 00976/KamalMuara/2017 itu terbit pada 23 Agustus 2017 dengan luas tanah 3.120.000 meter persegi. Yang lebih parah, HGB untuk Pulau D ini diterbitkan tanpa adanya pengukuran ulang oleh BPN.
Bahkan, tanpa malu-malu, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) DKI Jakarta, Najib Taufieq justru lebih berpihak kepada pengembang tanpa mengutamakan prosedur dan hukum yang berlaku. Ia mengatakan, penerbitan HGB akan membutuhkan waktu lama jika harus menunggu segala perizinan reklamasi beres.
“Kita memberikan hak guna bangunan ini dengan dasar pertimbangan bahwa investor ini sudah tanamkan modal, mereka dapat Keppres untuk kerjasama dengan Pemda DKI membuat reklamasi Pulau D,” ucap Najib di Kantor Wilayah BPN DKI Jakarta, Jakarta Pusat, 29 Agustus 2017.
Penerbitan HPL dan HGB serta pencabutan moratorium reklamasi merupakan simbol kemenangan pemodal dan sangat menyakitkan bagi seluruh nelayan di kawasan Teluk Jakarta. Pencabutan moratorium telah menenggelamkan harapan rakyat dalam timbunan pasir reklamasi Teluk Jakarta.
Hal ini juga menandakan bahwa negara lebih berpihak kepada pemodal, tidak lagi mengutamakan hukum dan mengabaikan aspirasi masyarakat kecil. Tampaknya sebanyak dan sevalid apapun argumentasi serta kajian ilmiah untuk membuktikan reklamasi merupakan proyek yang sama tak berguna akan sia-sia saja.
Kuasa hukum LBH Jakarta, Nelson Simamora menegaskan, bahwa HPL dan HGB sangat tidak layak diterbitkan oleh instansi terkait. Masalah dalam HPL dan HGB tersebut antara lain adalah masalah perizinan Pulau C dan Pulau D yang baru diajukan setelah kedua pulau itu terbangun. Padahal, nihilnya izin lingkungan dalam sebuah pembangunan, terlebih reklamasi, merupakan masalah serius yang berimplikasi pada ancaman pidana.
Selain itu, masalah lainnya adalah tidak adanya Peraturan Daerah (Perda) yang menjadi dasar dari pembangunan Pulau C dan D hingga diterbitkannya HPL dan HGB kedua pulau tersebut. Nelson mengatakan, setidaknya ada tiga Perda yang harus diterbitkan Pemprov DKI Jakarta, yaitu Perda tentang Rencana Detail Tata Ruang Kota; Perda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Kota; dan Perda tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Kota.
Ketiadaan tiga Perda tersebut dikatakan Nelson telah bertentangan dengan Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 06/PRT/M/2007 tentang Pedoman Umum Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan.
“HPL dan HGB juga cacat karena untuk melakukan reklamasi di Teluk Jakarta seharusnya ada Peraturan Daerah tentang Rencana Zonasi Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, serta Peraturan Daerah tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta yang sampai saat ini belum ada,” tegas Nelson usai melaporkan HPL dan HGB kepada Ombudsman RI di Jakarta, 3 November 2017.
Hingga kini, pihak Pemprov DKI Jakarta dan DPRD sama sekali belum melakukan pembahasan tentang Rancangan Peraturan Daerah (Raperda) Zonasi dan tata ruang kota untuk reklamasi. Sepanjang 2017 sendiri, kisruh reklamasi justru kembali menguak setelah Anies Baswedan dan Sandiaga Uno terpilih menjadi pasangan pemimpin ibu kota yang baru.
Dalam masa kampanye Pilkada, pasangan ini kerap menjual isu reklamasi dalam setiap kesempatan. Berbeda dengan saingannya, Ahok-Djarot, pasangan Anies-Sandi justru menolak pelaksanaan reklamasi. Namun belakangan, pihak Anies-Sandi melalui tim sinkronisasi yang dibentuknya, menyatakan tidak akan membongkar pulau-pulau reklamasi yang telah terbentuk karena dinilai justru akan semakin merusak lingkungan Teluk Jakarta.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan
Eka