Foto udara kawasan proyek Reklamasi Teluk Jakarta di Pantai Utara, Jakarta, Minggu (10/12/2017). Gubernur DKI Anies Baswedan telah mencabut rancangan peraturan daerah (raperda) tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Strategis Pantai Utara Jakarta dari program legislasi daerah (prolegda). Raperda terkait reklamasi Teluk Jakarta ini dinilai sudah tidak relevan dengan perkembangan Ibu Kota di masa mendatang. Raperda terkait reklamasi itu harus memperhatikan banyak aspek, di antaranya faktor sosial ekonomi, geopolitik dan lingkungan hidup. AKTUAL/Tino Oktaviano

Jakarta, Aktual.com – Siang itu cukup cerah, bahkan dapat dikatakan terik. Matahari pun sudah berada di atas ubun kepala dan suhu udara pun terus meningkat akibat sengatan sang surya. Musim kemarau pun seolah membuat matahari semakin menggila pada siang itu.

Di tengah terik matahari, sekitar 20-an orang tiba-tiba tampak dan jalan bergerombol. Puluhan orang yang terdiri dari pria dan perempuan berusia paruh baya dengan kulit sawo matang yang menunjukkan bahwa mereka memang sudah tak asing dengan radiasi matahari di wilayah tropis.

Sengatan matahari yang tengah menggila tak meredam semangat mereka untuk berteriak lantang. Dan usia renta pun tak membuat tubuh mereka layu menentang ketidakadilan.

Begitulah kondisi sekelompok nelayan yang tergabung dalam Komite Nelayan Tradisional (KNT) Muara Angke melakukan unjuk rasa di tengah pembahasan Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) Reklamasi Teluk Jakarta di Kantor Dinas Lingkungan Hidup DKI Jakarta yang terletak di Cililitan, Jakarta Timur, pertengahan Juli 2017 lalu.

Reklamasi sendiri merupakan sebuah polemik yang tiada habisnya. Polemik reklamasi di pesisir utara Jakarta ini selalu saja dibumbui drama-drama sehingga selalu menjadi perhatian khalayak ramai.

Sepanjang tahun ini, telah banyak penolakan yang dilontarkan oleh berbagai kalangan, mulai dari nelayan, aktivis lingkungan, mahasiswa, akademisi hingga politisi. Politisi yang menentang pun bukan politisi medioker, melainkan pendiri Partai Amanat Nasional (PAN) yang juga mantan Ketua MPR, Amien Rais.

Penolakan ini pun dilakukan dengan cara yang beragam pula, mulai dari diskusi publik, dialog, unjuk rasa hingga gugatan hukum.

Gabungan dari beberapa LSM penolak reklamasi Teluk Jakarta, Koalisi Selamatkan Teluk Jakarta (KSTJ) bersama nelayan telah mengajukan beberapa gugatan yang mengarah pada penolakan, mulai dari gugatan terkait informasi reklamasi kepada Komisi Informasi Pusat (KIP) hingga Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Namun, pemerintah tampak tutup mata dan telinga terhadap aspirasi tersebut dengan tetap membuka pintu bagi pengembang agar reklamasi tetap berjalan, salah satunya adalah memberikan peluang bagi pengembang untuk memfasilitasi adanya pembahasan Amdal proyek tersebut.

Perdebatan antara pihak pro dan kontra reklamasi sendiri masih terbilang ‘klasik’. Pihak pro reklamasi berdalih bahwa reklamasi di Teluk Jakarta harus dilakukan lantaran telah direncanakan sejak era Presiden Soeharto yang disimbolkan dengan Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 52 Tahun 1995 tentang Reklamasi Pantai Utara Jakarta. Selain itu, pemerintah juga masih kukuh dengan argumentasi yang menyebutkan bahwa reklamasi dapat menanggulangi ancaman banjir rob dan penurunan tanah.

Tidak kalah, pihak kontra reklamasi pun membantah dalil pemerintah dengan menyebut reklamasi justru akan merusak lingkungan dan ekosistem di Teluk Jakarta. Pembangunan 17 pulau di Teluk Jakarta pun justru dinilai akan mengakibatkan banjir yang lebih dahsyat di ibu kota lantaran akan menghambat aliran puluhan sungai yang menuju Teluk Jakarta.

Selain itu, adanya pulau buatan di kawasan ini juga berpotensi menjauhkan nelayan dari sumber penghidupannya di laut.

Berdasarkan catatan Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara) yang dirilis awal 2017, menyebutkan adanya pembengkakan biaya yang dikeluarkan nelayan yang tinggal di pantai Teluk Jakarta untuk melaut, bahkan saat baru terbangun beberapa pulau buatan saja. Sebelumnya, nelayan hanya membutuhkan 5 liter solar untuk melaut, tetapi setelah adanya reklamasi kebutuhan bahan bakar melaut membengkak hingga dua kali lipat.

Waktu tempuh yang lebih lama lantaran terhalang timbunan pasir reklamasi ditenggarai menjadi faktor utama membengkaknya biaya nelayan untuk melaut. Hal ini diperburuk dengan anjloknya hasil tangkapan hingga lebih dari 90 %.

“Kondisi ini memaksa nelayan terus berada dalam kubangan kemiskinan dari waktu ke waktu. Dengan demikian, kemiskinan di wilayah pesisir adalah buah dari ketidakadilan struktural yang dipertahankan oleh kekuasaan,” demikian dikutip dalam Laporan Awal Tahun 2017 Kiara.

Tidak hanya itu, pihak kontra reklamasi pun menegaskan bahwa landasan hukum reklamasi kurang begitu kuat. Hingga awal 2017, tercatat tiga dokumen yang menegaskan larangan terhadap reklamasi di teluk jakarta, yaitu SK Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Nomor 35/MLHK/Sekjen/Kum/9/5/2016; Surat menteri Kelautan dan Perikanan (KP) Nomor B398/MEN-KP/VII/2016; dan Putusan PTUN Jakarta Nomor 193/G/LH/2016/PTUN-JKT.

Sebelumnya, pemerintah melalui Menteri Koordinator Kemaritiman (Menko Maritim) saat itu, Rizal Ramli telah menerbitkan Surat Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Nomor 27.1/Menko/Maritim/IV/2016 yang berisi moratorium reklamasi pada 19 April 2016 silam.

Beberapa dokumen di atas pun semakin mantap dengan keluarnya putusan PTUN Jakarta yang mengabulkan gugatan nelayan dan KSTJ atas reklamasi Pulau F, I dan K pada 16 Maret 2017. Dalam tiga amar putusan yang berbeda, PTUN Jakarta menyatakan bahwa Pemprov DKI jakarta harus mencabut tiga Surat Keputusan (SK) Gubernur DKI Jakarta yang memberikan izin atas pelaksanaan tiga pulau di atas, yaitu SK Gubernur DKI Nomor 2485/2015 (Pulau K); SK Gubernur DKI NOmor 2268 Tahun 2015 (Pulau F); dan SK Gubernur DKI Nomor 2269 Tahun 2015 (Pulau I).

Menanggapi kemenangan ini, Ketua DPP Kesatuan Nelayan Tradisional Indonesia (KNTI), Marthin Hadiwinata mengatakan, bahwa putusan PTUN ini merupakan kemenangan para nelayan.

“Ini menguatkan pandangan bahwa reklamasi ini banyak pelanggaran hukum di dalamnya. Dalam pelaksanaan idenya sendiri sudah melanggar hukum, jadi tidak bisa dilanjutkan lagi,” ujar Marthin.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Teuku Wildan
Editor: Eka