Meikarta
Selain reklamasi yang tak kunjung usai, pengembang lainnya, Lippo Group justru diam-diam telah memuluskan megaproyek barunya di sisi timur kawasan Jabodetabek. Dengan lahan 500 hektar di kawasan Cikarang, Kabupaten Bekasi, perusahaan besutan James Riyadi ini telah meluncurkan Meikarta.
Nama ini sendiri terinspirasi dari Ibu James Riady, Mei. Sejak dipasarkan sejak Mei 2017, Lippo Group terus menjual mimpi kepada masyarakat luas tentang Meikarta, yaitu dijanjikan akan menjadi kota paling modern, terindah dengan infrastruktur terlengkap di Asia Tenggara.
Bagaimana tidak, proyek yang rencananya akan membangun 100 buah gedung pencakar langit ini dibangun di kawasan yang menjadi pusat industri tanah air, yang memproduksi lebih dari satu juta mobil,10 juta motor serta jutaan kulkas, televisi dan alat rumah tangga setiap tahunnya.
Investasi senilai Rp 278 triliun ini pun dinilai tak seberapa lantaran kawasan ini nantinya akan dilalui oleh kereta api cepat Jakarta-Bandung serta dekat dengan Kertajati International Airport dan Patimban Deep Seaport.
Pada tahap awal, Meikarta akan membangun lahan seluas 22 juta meter persegi untuk 250 ribu unit perumahan dan direncakan siap huni pada Desember 2018.
Harga tanah di kawasan Meikarta dihargai Rp12.5 juta/m2, menurut mereka 50 persen lebih rendah harga di koridor Bekasi-Cikarang yang sudah mencapai Rp 18-20 juta/m2. Harga ini jauh lebih tinggi dan berlipat dibandingkan dengan beberapa lokasi di Kota Bandung. Pembangunan fisik sudah mulai dilakukan sejak Januari 2016, dengan membangun sekaligus 100 gedung pencakar langit dengan tinggi masing-masing 35-46 lantai.
Dalam iklannya yang sering diputar di stasiun televisi dan dapat juga dapat dilihat di youtube, Meikarta digambarkan sebagai kota baru dengan masa depan yang cerah, sarat akan kecanggihan teknologi yang juga mengedepankan lingkungan dan juga ramah terhadap pertumbuhan anak. Berbanding terbalik dengan Jakarta yang ditammpilkan suram, tak tertata karena ringkih terhadap banjir dan tak sehat untuk pertumbuhan anak.
Lembaga Remotivi bahkan menyebut, video iklan Meikarta berusaha membuat warga Jakarta gelisah tentang pengalaman mereka dengan kotanya, mulai dari kemacetan, kriminalitas hingga sampah. Iklan ini pun secara halus mengarahkan warga Jakarta untuk memalingkan muka dari ibu kota karena Meikarta adalah kota harapan yang diimpikan.
“Berbagai elemen ini dirangkai untuk membuat kesan buntu bahwa Jakarta sudah rusak dan tak bisa diselamatkan lagi,” demikian review Remotivi mengenai video iklan Meikarta.
Konsultan media dan politik, Hersubeno Arief bahkan menyebut Meikarta tanpa malu-malu telah mendompleng proyek KA cepat Jakarta-Bandung.
“Dengan munculnya dengan tiba-tiba kota Meikarta, publik menjadi ngeh dan mulai mengait-ngaitkan dengan proyek kereta api cepat Jakarta-Bandung. Meminjam judul buku RA Kartini kita bisa menyebutnya ‘Habis Kereta Api cepat Jakarta-Bandung, terbitlah Kota Meikarta’,” ucap Hersubeno dalam tulisannya.
Namun ternyata Meikarta memang hanya menjual impian dan buaian belaka. Bagaimana tidak, di tengah promosi gila-gilaan yang dilakukan, megaproyek ini ternyata nihil izin. Hal ini diungkapkan langsung oleh Wakil Gubernur Jawa Barat, Dedi Mizwar.
Si Naga Bonar ini sangat menyesalkan pemasaran mega proyek ini sebelum proses perizinan tuntas. Pihak Meikarta justru mengklaim telah menjual 16.800 unit apartemen pada 26 Mei 2017 lalu.
“Hati-hati Lippo, jangan seenaknya. Ini seperti mendirikan negara dalam negara,” kata Dedi tidak lama setelah peluncuran Meikarta.
Proyek properti yang direncanakan sejak 2014 ini pun disebut-sebut telah melangkahi program pemerintah yang mencanangkan Bogor, Depok, Bekasi, Puncak, Cianjur (Bodebekkarpur) sebagai pusat pertumbuhan ekonomi atau kawasan metropolitan di Jawa Barat. Padahal, program Bodebekkarpur sudah dicanangkan sejak era Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, tepatnya pada 2010 atau 4 tahun sebelum Meikarta dimulai.
Bodebekkarpur sendiri diproyeksikan menjadi kembaran dari Jakarta atau twin metropolitan. Selain Bodebekkarpur, ada dua kawasan metropolitan lagi yang sedang digara oleh Pemprov Jawa Barat, yaitu Bandung Raya dan Cirebon Raya.
Pembangunan Meikarta pun disebut telah menyalahi Perda Jawa Barat Nomor 12 tahun 2014 tentang Pengelolaan Pembangunan dan Pengembangan Metropolitan dan Pusat Pertumbuhan. Deddy pun telah memastikan bahwa proses perizinan Meikarta sama sekali belum masuk ke Pemprov Jawa Barat.
“Nah ini (izin) belum dilakukan. Saya cek kemarin di Bekasi juga belum ada permohonan izin,” tegas Deddy.
Belakangan, Deddy menyatakan, pemprov Jawa barat hanya memberikan rekomendasi penggunaan lahan untuk proyek Meikarta hanya 84,6 hektar saja, atau tidak sampai 20% dari luas lahan yang direncanakan sebelumnya. Luas ini sendri berdasar Izin Peruntukkan Penggunaan Tanah (IPPT) yang dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Bekasi kepada Meikarta pada medio Mei 2017.
Tentangan ini tidak hanya datang dari pihak Pemprov Jawa Barat saja, melainkan dari organisasi non pemerintah.Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) secara terang-terangan menyarankan agar masyarakat menunda pembelian properti di Meikarta hingga ada kepastian mengenai perizinan dari proyek ini.
Ketua YLKI, Tulus Abadi sangat menyayangkan promosi Meikarta yang terus berjalan meskipun sudah diminta Deddy Mizwar untuk menghentikan pre-project selling.
Pemasaran seperti ini, disebut Tulus melanggar ketentuan Pasal 42 UU No. 20 Tahun 2011, yang mewajibkan pengembang untuk memiliki jaminan atas Kepastian peruntukan ruang, kepastian hak atas tanah, kepastian status penguasaan gedung, perizinan dan jaminan pembangunan, sebelum melakukan pemasaran.
Saran yang dilontarkan Tulus bukan tanpa dasar, karena hal hal serupa sudah terjadi sejak 2014-2016. Menurut Tulus, kasus seperti Meikarta sudah sering memicu masalah bagi konsumen di kemudian hari.
“Bahkan 2015, sekitar 40% pengaduan perumahan terjadi sebagai akibat adanya pre project selling, yakni adanya informasi yang tidak jelas, benar dan jujur, pembangunan bermasalah, realisasi fasum/fasos bermasalah, dan unit berubah dari yang ditawarkan,” kata Tulus.
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan
Eka














