Prospek Properti
Jika menilik dua kasus ini, yakni reklamasi Teluk Jakarta dan Meikarta, sepertinya ada satu benang merah yang dapat ditarik. Kedua proyek ini (khusus untuk reklamasi adalah Pulau C dan D) diduga melompati prosedur perizinan yang berlaku.
Meskipun nilai investasiya sangat besar -investasi Meikarta bahkan diklaim yang terbesar sejak Gorup Lippo berdiri-, nyatanya praktek maladministrasi tetap saja masih terjadi dalam dua proyek ini.
Entah apa yang terjadi, tapi lagi-lagi negara telah kecolongan oleh manuver perusahaan properti. Pemerintah pusat pun cenderung tutup mata terhadap masalah perizinan ini, bahkan dalam kasus reklamasi secara jelas dan telanjang pemerintah justru mendukung pelanggaran izin yang dilakukan pengembang.
Namun bukan itu yang menjadi titik utama dalam sub bab ini. Yang lebih menarik adalah para pengembang ini justru ngotot untuk tetap melanjutkan proyeknya di saat industri properti tengah melesu sepanjang 2017 ini.
Berdasar survei Bank Indonesia pada Agustus 2017, penjualan properti residensial hanya tumbuh sebesar 3,17% pada kuartal II 2017. Hasil ini terbilang merosot jika dibandingkan dengan kuartal sebelumnya yang mencapai 4,16%.
Masih dari sumber yang sama, pada triwulan II 2017, Kredit Pemilikan Rumah/Apartemen (KPR/KPA) bahkan telah anjlok hingga separo, dari 70,7% pada triwulan sebelumnya menjadi 21,5% saja. Data dari BI pun didukung dengan sepinya penjualan dalam berbagai pameran properti di daerah-daerah sepanjang tahun ini.
Kondisi ekonomi di tanah air yang lesu menjadi faktor utama bagi kemerosotan seluruh sektor, termasuk properti. Meskipun Pendapatan Domestik Bruto (PDB) 2016 Indonesia masih lebih baik dari tahun sebelumnya, namun berbagai kebijakan pemerintah yang menyedot uang dari masyarakat telah membuat daya beli masyarakat.
Kecenderungan pemerintah yang menyedot dana dari masyarakat diduga terjadi lantaran pemerintah telah kelimpungan untuk membayar utang yang jatuh tempo pada 2018 dan 2019. Menurut DJPPR Kemenkeu, pada 2018 utang jatuh tempo mencapai Rp 390 triliun dan semakin membesar pada 2019, yaitu Rp 420 triliun.
Ekonom asal Institute for Development of Economies and Finance (Indef) Berly Martawardaya, memiliki ilustrasi yang sangat tepat untuk menggambarkan korelasi antara lesunya kondisi ekonomi dengan industri properti.
“Jadi kalau beli baju dan sepatu ditunda, apalagi beli rumah?” seloroh Berly kepada Aktual, dalam suatu kesempatan di Jakarta akhir September 2017 lalu.
Namun, pendapat yang sedikit berbeda diutarakan oleh CEO Indonesia Property Watch (IPW), Ali Tranghada. Ali beranggapan, optimisme dari para pengembang Meikarta dan reklamasi Teluk Jakarta sangatlah berkaitan dengan sejumlah pembangunan infrastruktur yang digiatkan oleh pemerintah pusat.
Khusus untuk Meikarta, proyek ini sendiri diketahui telah mendompleng berbagai pembangunan infrastruktur yang dekat dengan CIkarang, seperti KA cepat Jakarta-Bandung, LRT Jabodetabek rute Bekasi-Dukuh Atas, KRL rute Jakarta Kota-Cikarang, serta dekat dengan serta dekat dengan Bandara Internasional Kertajati di Maja dan Pelabuhan Patimban di Subang.
“Infrastruktur salah satu faktor kuat dalam perkembangan properti. Termasuk apartemen,” kata Ali.
Di kesempatan lain, Ali menyatakan bahwa prospek properti akan kembali membaik dalam beberapa tahun ke depan, khususnya usai pelaksanaan Pilkada 2018 dan Pemilu 2019. Pilkada serentak 2018 dan Pemilu 2019 disebutnya hanya menjadi siklus sementara yang menahan laju pertumbuhan properti di Indonesia.
“Kita masih optimis kok, di mana-mana launching proyek lumayan bagus, walaupun enggak sebagus 2010,” ucapnya kepada Aktual.
Dengan beberapa catatan di atas, bukan tidak mungkin jika pengembang reklamasi dan Meikarta akan tetap menuai keuntungan pada beberapa tahun ini. Tidak hanya reklamasi dan Meikarta saja, tampaknya jurus pengembang yang membangun tanpa disertai dengan proses perizinan yang menyeluruh, akan menjadi tren proyek properti pada masa yang akan datang.
(Penulis: Teuku Wildan)
Artikel ini ditulis oleh:
Teuku Wildan
Eka