Jakarta, Aktual.com – Berbagai kalangan menyoroti kinerja DPR RI sepanjang tahun 2025. Kinerja Parlemen dinilai belum memenuhi harapan publik. Hal ini dilihat dari fungsi legislasi, pengawasan, dan penganggaran yang masih berorientasi pada kepentingan elite ketimbang publik.
Peneliti Indonesia Parliament Center (IPC) Choris Satun Nikmah menyampaikan dari sisi fungsi legislasi, DPR bersikukuh mengesahkan beberapa undang-undang (UU) yang menuai kritik publik, baik secara subtansi maupun proses pembahasannya.
Seperti, revisi UU Mineral dan Batu Bara, revisi UU TNI, revisi UU BUMN dan revisi Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Secara subtansi, publik menolak disahkannya RUU tersebut menjadi UU. Demikian pula proses pembahasan revisi UU dinilai terburu-buru dan minim partisipasi publik yang bermakna.
“RUU tersebut mengalami tarik-ulur pembahasan sebelum akhirnya disahkan pada rapat paripurna terakhir masa sidang, setelah sebelumnya beberapa kali mengalami penundaan,” paparnya.
IPC juga menemukan praktik yang disebut sebagai pinjam tangan legislasi, yakni ketika DPR mengesahkan RUU yang lebih mencerminkan kepentingan pemerintah dibanding kepentingan publik.
Akibatnya, kata Choris, sejumlah RUU yang berpihak pada kelompok rentan yang menjadi kepentingan publik justru terabaikan.
“RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga yang sudah mandek selama 21 tahun, RUU Masyarakat Adat selama 13 tahun, hingga RUU lingkungan dan kehutanan tidak kunjung diselesaikan, padahal dampak krisis iklim semakin nyata,” kata Choris.
Pembahasan legislasi yang lebih berorientasi pada kepentingan elite ini juga terlihat dari komposisi pihak yang dilibatkan dalam pembahasan UU masih didominasi oleh kementerian dan lembaga pemerintah. Sementara itu, partisipasi organisasi masyarakat sipil berada di urutan berikutnya, disusul akademisi, sektor swasta, dan mahasiswa.
“Kalau kita lihat proporsinya, sekitar setengah dari pihak yang diundang DPR dalam pembahasan undang-undang berasal dari kementerian dan lembaga. Setelah itu masyarakat sipil sekitar 24 persen, kemudian akademisi, perusahaan, dan yang paling kecil justru dari kalangan mahasiswa,” ujar Peneliti IPC lainnya Muhammad Ichwanul Reza.
Kinerja legislasi yang mengesampingkan aspirasi publik juga terlihat dari minimnya transparansi dan sulitnya mendapatkan akses informasi ataupun dokumen dalam proses pembentukan UU.
Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK) Bugivia Maharani mengungkapkan, dari 52 RUU prolegnas prioritas 2025 dan 2 RUU non prioritas yang disetujui menjadi UU, sebanyak 87,5 persen tidak tersedia dokumen draf RUU dan naskah akademik, 71,4 persen melampirkan sedikit dokumen sidang. Selain itu setidaknya status 11 RUU tidak sesuai dengan kondisi faktual hasil evaluasi badan legislasi DPR sebagaimana tercantum pada kanal resmi DPR.
“Ketersediaan dokumen lainnya juga minim, seperti ketersediaan dokumen sidang, materi publik dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU), dan kemutakhiran informasi,” ungkapnya.
Sedangkan Pengajar STIH Jentera Gita Putri Damayana menyoroti ledakan jumlah RUU Kumulatif terbuka tentang pembentukan wilayah. Misalnya, tahun 2024 jumlah pembentukan wilayah baru mencapai 100 daerah. Adapun di tahun 2025, terbit 10 UU baru kumulatif terbuka.
Hal ini, katanya, patut disorot karena ongkos pembahasan satu RUU kumulatif terbuka yang dialokasikan sekitar Rp500 juta. Padahal, masih banyak RUU yang menunggu sangat lama, tapi sampai sekarang tak kunjung dituntaskan.
“Kita berisiko menormalisasi proses legislasi yang mengasingkan publik dan mengabaikan data. Pembuat UU harus menahan diri, tidak menjadi sekedar pabrik UU yang bersifat adminstratif,” tutupnya.
Penganggaran dan Pengawasan Tak Jauh Beda
Selain legislasi, fungsi anggaran dan pengawasan DPR juga bermasalah. IPC mencatat pemangkasan anggaran terbesar justru terjadi pada mitra Komisi V, termasuk BMKG yang dipangkas hingga 50,18 persen dan Basarnas sebesar 32,62 persen. Pemangkasan tersebut dinilai tidak proporsional di tengah meningkatnya frekuensi bencana alam.
Choris mempertanyakan apakah kebijakan tersebut benar-benar mencerminkan efisiensi, atau sekadar pemotongan anggaran tanpa perubahan struktur APBN. Pasalnya, sebagian besar anggaran yang dipangkas justru dialihkan ke program-program prioritas pemerintah.
“Pemotongan anggaran kementerian dan lembaga cukup besar dan dialihkan ke program mercusuar. Pertanyaannya, di mana posisi DPR dalam memastikan kebijakan ini akuntabel?” kata Choris.
Ia juga mengkritik munculnya peristiwa joget dalam rapat DPR di tengah isu efisiensi anggaran. Peristiwa tersebut dinilai tidak etis dan sempat viral di media sosial. Pada saat yang sama, DPR justru mendorong peningkatan tunjangan dan fasilitas anggota Dewan, yang memicu kemarahan publik.
Menurutnya, kondisi ini memperlihatkan paradoks kinerja DPR. Di satu sisi, Parlemen dihadapkan pada tuntutan publik yang besar, di sisi lain masih berkutat pada kepentingan internal. Situasi ini menimbulkan pertanyaan apakah DPR semakin kuat atau justru kian melemah dalam konfigurasi kekuasaan saat ini.
“Hak-hak konstitusional DPR, seperti interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat, jarang digunakan untuk merespons isu-isu besar, seperti bencana ekologis atau persoalan dalam program Makan Bergizi Gratis,” paparnya.
Harapan Perbaikan di 2026
Direktur Rumah Politik Indonesia Fernando Emas berharap tahun 2026, para anggota legislatif akan memperbaiki kinerjanya agar lebih baik dan akan membuka akses bagi masyarakat.
“Akan percuma dibentuk Badan Aspirasi Masyarakat oleh DPR apabila akses untuk masuk ke gedung parlemen semakin dipersulit,” tegasnya.
Sedangkan Dosen Ilmu Politik Universitas Brawijaya M Faisal Aminudin menekankan pentingnya pelibatan masyarakat sipil dan kelompok kepentingan dalam proses perumusan RUU. Ia menilai partisipasi publik tidak boleh berhenti pada formalitas undangan semata, tetapi harus dimaknai sebagai proses penjaringan dan pengayaan substansi kebijakan.
“Kalau masyarakat kepentingan dilibatkan dengan baik, DPR itu sebenarnya sangat terbantu. Mereka punya jaringan, punya data, dan punya perangkat untuk kampanye. Tinggal bagaimana DPR melakukan verifikasi, validasi, dan agregasi,” kata Faisal.
Ia menambahkan, setelah proses partisipasi dan agregasi isu dilakukan, DPR seharusnya membuka ruang debat publik yang luas sebelum RUU diformulasikan dan dibahas di parlemen. “Dengan demikian, UU yang dihasilkan tidak bersifat sporadis atau sekadar mengikuti tren sesaat, melainkan benar-benar berangkat dari kebutuhan nyata masyarakat,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eroby Jawi Fahmi

















