Pakar Hukum Universitas Indonesia, Chudry Sitompul, menyoroti kasus hukum yang menjerat Ketua Umum Solidaritas Merah Putih (Solmet) Silfester Matutina. Silfester yang merupakan salah satu pendukung Joko Widodo pada Pilpres 2019, divonis 1,5 tahun penjara dalam perkara fitnah terhadap mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Namun, hingga kini ia belum juga menjalani hukuman tersebut. Kejaksaan Agung menyebut alasan penundaan eksekusi karena kondisi kesehatan Silfester yang sedang sakit.

Menurut Chudry Sitompul, alasan tersebut tidak memiliki dasar hukum yang kuat. Ia menegaskan bahwa dalil mengenai daluarsa eksekusi pidana yang dipahami oleh pihak Silfester keliru.

“Itu kan mengenai penafsiran pasal daluarsa. Gini, itu kan penasehat hukumnya atau dengan pendukung-pendukungnya itu menganggap bahwa masa daluarsa pelaksanaan putusan pidana atau eksekusi pidana itu empat tahun. Padahal ya semua ini, itu adalah delapan belas tahun. Semua ahli, semua buku pidana tidak ada yang bilang empat tahun,” ujarnya saat dihubungi Aktual.com, Jumat (3/10/2025).

Ia menjelaskan bahwa ketentuan empat tahun itu terkait ancaman hukuman, bukan daluarsa eksekusi putusan. “Jadi semua pendapat ahli dan buku pidana seragam bahwa itu delapan belas tahun,” beber Chudry.

Chudry juga menyoroti kesulitan Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan dalam mengeksekusi putusan karena belum mengetahui keberadaan Silfester. Menurutnya, langkah hukum harus tetap ditempuh.

“Kalau misalnya kejaksaan menyatakan Silfester tidak bisa ditemukan, maka kejaksaan itu harus menyatakan Silfester masuk dalam daftar pencarian orang (DPO). Sehingga kalau perlu bekerjasama dengan Interpol, supaya statusnya jelas bahwa dia orang yang dicari untuk melaksanakan putusan,” katanya.

Ia menilai bahwa hingga saat ini tidak ada alasan hukum yang sah untuk menunda pelaksanaan putusan tersebut. Hal ini, menurutnya, tidak hanya menyangkut kinerja Kejaksaan, tetapi juga berhubungan langsung dengan wibawa pemerintah.

“Kesimpulannya, tidak ada alasan hukum yang bisa menunda pelaksanaan putusan pidana atau eksekusinya. Jadi ini sebenarnya bukan hanya soal institusi kejaksaan, tetapi ini sudah menyangkut wibawa pemerintah, bahwa pemerintah tidak bisa melaksanakan hukum secara baik dan benar,” ujarnya.

Dari sisi politik, Chudry menilai persoalan ini dapat mencoreng citra pemerintahan Prabowo Subianto. “Kalau dari analisa politik, ini bisa bahwa Silfester mempunyai kekuasaan yang lebih dari pemerintah karena pemerintah tidak bisa melakukannya. Jadi ini saya kira wibawa pemerintah dalam hal ini juga, Presiden Prabowo Subianto itu bisa tercoreng, atau menyatakan bahwa pemerintahan Prabowo ini tidak melaksanakan hukum atau undang-undang yang benar,” jelasnya.

Ia juga menyinggung posisi Silfester yang pernah disebut sebagai bagian dari Tim Kampanye Nasional Prabowo-Gibran. Hal itu, menurutnya, semakin menimbulkan kesan bahwa hukum hanya berlaku secara tegas kepada pihak-pihak yang berseberangan dengan pemerintah.

“Padahal Indonesia sebagai negara hukum itu, semua warga negara diberlakukan sama di muka hukum. Tidak ada yang istimewa, tidak ada yang kebal hukum. Jadi ini bisa mengurangi performa kinerja Prabowo terhadap hukum. Seakan hukum itu hanya berlaku bagi orang-orang yang tidak mendukung Prabowo,” tegas Chudry

Selain itu, Chudry menyoroti status Silfester yang pernah menduduki jabatan komisaris di salah satu BUMN. Ia menilai keputusan pengangkatan maupun pencabutan jabatan tersebut perlu ditelusuri.

“Itu sudah dicabut, sudah dibatalkan. Saya nggak tahu, yang mengusulkan itu Menteri BUMN atau kepala Danantara. Kalau misalnya, siapa pun yang mengangkat itu, tidak konsisten terhadap hukum,” ujarnya.

Chudry menekankan bahwa penegakan hukum harus berlaku sama bagi semua warga negara tanpa pandang bulu. Baginya, kasus Silfester bukan hanya persoalan teknis eksekusi, melainkan menyangkut kredibilitas pemerintah dalam menjunjung prinsip negara hukum.

Reporter: Achmad

Artikel ini ditulis oleh:

Andry Haryanto