Dr. Mayank Amin memberikan vaksin penyakit virus corona (COVID-19) Pfizer-BioNTech pada Evan Schuster (7 tahun) di Collegeville, Pennsylvania, AS, Sabtu (6/11/2021). ANTARA FOTO/REUTERS/Hannah Beier/HP/sa.

Jakarta, Aktual.com – Pandemi COVID-19 belum berakhir. Virus corona yang ditemukan pertama kali di Wuhan China pada 2019 itu mulai kembali merajalela di Eropa.

Beberapa negara Eropa seperti Jerman, Belanda, dan Austria mencatatkan rekor kasus harian baru. Belasan hingga puluhan ribu kasus baru terjadi di sejumlah negara Eropa, bahkan Rusia mencatat kenaikan kasus mencapai 36 ribu lebih per harinya.

Padahal, negara-negara maju seperti Eropa merupakan termasuk penduduk dunia yang paling dulu mendapatkan vaksinasi COVID-19 dan merasakan landainya kasus COVID-19 beberapa bulan terakhir.

Bahkan di Inggris kebijakan wajib memakai masker di tempat umum dan menjaga jarak sempat dicabut. Namun kini berbagai negara Eropa kembali mengalami kenaikan kasus yang membuat fasilitas kesehatan mulai kewalahan menangani pasien.

Beberapa negara Uni Eropa mencoba kembali memberlakukan pembatasan mobilitas masyarakat.

Kasus COVID-19 di Indonesia saat ini masih melandai, kurang dari 500 kasus baru per harinya sudah lebih dari 10 hari terakhir, dan konsisten di bawah 1000 kasus per hari lebih dari satu bulan yang lalu.

Kasus COVID-19 yang landai ini juga membuat pemerintah melonggarkan kembali berbagai pembatasan yang sebelumnya dilakukan, namun dengan syarat wajib menerapkan protokol kesehatan dengan ketat.

Kendati kini sudah banyak orang yang bekerja di kantor, siswa-siswi mulai belajar tatap muka di sekolah, dan pusat perbelanjaan dan pariwisata kembali ramai, protokol kesehatan harus turut mengiringi. Bila tidak, landainya kasus di Eropa yang diiringi pelonggaran pembatasan sosial serta pelonggaran kebijakan protokol kesehatan menghasilkan kasus yang kembali melonjak.

“Karena kita harus belajar dari negara-negara terutama di Eropa, sempat terjadi kasus luar biasa kembali hingga saat ini, karena sempat kendor dan lengah pada protokol kesehatan (prokes) di sana,” kata Juru Bicara Pemerintah untuk COVID-19 dr Reisa Broto Asmoro, Senin (22/11).

Landainya kasus COVID-19 di Indonesia lebih dari sebulan terakhir membuat banyak masyarakat yang sejenak melupakan protokol kesehatan, bosan dan sumpek memakai masker lalu dilepasnya karena merasa sudah aman.

Bahkan, kebijakan sistem pelacakan digital melalui Peduli Lindungi yang mengharuskan setiap orang melakukan check in setiap ke tempat publik kini seperti jadi prioritas saja.

Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Prof Tjandra Yoga Aditama yang merasakan sendiri tak adanya jaga jarak dalam antrean masuk pesawat, atau formalitas check in PeduliLindungi saat masuk ke pusat perbelanjaan.

Dia mengisahkan bahwa dirinya bersama tiga orang anggota keluarga lainnya berkunjung ke pusat perbelanjaan, namun kewajiban melakukan pemindaian QR Code di aplikasi PeduliLindungi hanya pada satu orang.

Prof Tjandra mengkritisi perilaku protokol kesehatan di masyarakat yang mulai kendor dan pelaksanaan kebijakan yang kini mulai tak dijalankan.

Ia mengingatkan kesembronoan ini bisa saja membawa pada malapetaka seperti yang dilakukan oleh masyarakat Eropa sebelumnya dan kini kasus COVID-19 kembali meledak di sana.

Prof Tjandra yang juga mantan Direktur Badan Kesehatan Dunia (WHO) memberikan analisanya bagaimana Indonesia bisa memiliki kasus COVID-19 yang landau seperti sekarang ini.

Dia memaparkan bahwa kemiripan pola transmisi COVID-19 yang terjadi di India dan Indonesia yang menyebabkan kasus melandai dikarenakan hampir seluruh warganya sudah terinfeksi oleh virus corona.

Tjandra yang pernah tinggal di India selama menjadi Direktur WHO mengungkapkan bahwa India melakukan penelitian tes antibodi COVID-19 bagi warganya di dua kota besar, yakni New Delhi sebagai Ibu Kota Negara dan Mumbai sebagai pusat industri.

Hasilnya, hasil penelitian tes antibodi dari masyarakat 90 persen positif di New Delhi, dan 86 persen masyarakat di Mumbai 86 persen positif.

Tjandra menganalisa bahwa terinfeksinya hampir seluruh masyarakat di dua kota besar tersebut sebagai salah satu faktor bagaimana India berhasil menekan laju infeksi COVID-19 dengan sangat signifikan dan cepat, serta kasus yang terus melandai hingga saat ini.

Dia mengemukakan bahwa pola lonjakan kasus COVID-19 dan menurunnya kasus setelahnya diikuti dengan melandainya kasus COVID-19 di India memiliki pola yang sama dengan yang terjadi di Indonesia.

Indonesia memiliki lonjakan kasus yang sangat tinggi pada pertengahan tahun 2021, kemudian kasus menurun secara sistematis dalam dua bulan setelahnya dan bertahan melandai di bawah 1000 kasus per hari sejak 15 Oktober hingga hari ini, atau telah bertahan selama sebulan penuh.

“Bisa jadi, landainya kasus COVID-19 di Indonesia saat ini sama seperti yang terjadi di India, yaitu virus tidak tahu harus menulari siapa lagi karena hampir seluruh penduduk di Kota Besar sudah pernah terinfeksi. Sehingga terciptalah kekebalan kelompok baik dari imunisasi maupun antibody alami yang dimiliki oleh masyarakat yang pernah terinfeksi COVID-19,” tuturnya.

Kendati demikian, Tjandra menegaskan bahwa orang yang sudah terinfeksi COVID-19 atau divaksinasi bukan berarti aman dari transmisi. Karena antibodi yang diciptakan vaksin maupun secara natural juga mengalami penurunan efektivitas yang bisa membuat orang tersebut terinfeksi kembali.

Oleh karena itu, protokol kesehatan tidak bisa ditawar lagi apabila Indonesia tidak ingin ada lonjakan kasus COVID-19 lagi, atau seperti yang banyak pihak waspadai yaitu gelombang ketiga pandemic COVID-19 di Indonesia.

Tetap menjaga jarak, menjauhi kerumunan, selalu memakai masker ketika di tempat publik menjadi cara yang paling ampuh guna mencegah penularan COVID-19 kembali meluas di Indonesia.

Artikel ini ditulis oleh:

Reporter: Antara
Editor: A. Hilmi