Di atas kertas, visi-misi Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka menjanjikan pemerintahan yang bersih, birokrasi profesional, serta tata kelola BUMN yang kuat dan bebas dari intervensi politik. Janji itu tertulis rapi dalam Asta Cita poin ketujuh, berbunyi memperkuat reformasi birokrasi, hukum, dan politik, serta mempercepat pemberantasan korupsi.
Namun realitas yang kini tersaji justru kontras. Di balik retorika efisiensi dan meritokrasi, publik disodori fakta 33 wakil menteri dan satu pejabat setingkat dari Kantor Komunikasi Presiden kini rangkap jabatan sebagai komisaris di BUMN dan anak perusahaannya.
Transparansi Internasional Indonesia (TII) menilai fenomena ini sebagai bentuk kembalinya pola distribusi kekuasaan ke dalam tubuh ekonomi negara. Penempatan para wakil menteri di pos-pos strategis perusahaan pelat merah tidak hanya sarat konflik kepentingan, tetapi juga dipertanyakan relevansi dan kapasitasnya.
Banyak di antaranya berasal dari kementerian yang tak memiliki keterkaitan langsung dengan sektor industri tempat mereka menjadi komisaris. Dari urusan pendidikan tinggi di Pertamina Hulu Energi, hingga masalah perempuan dan anak di Citilink. Ketidaksesuaian itu menunjukkan bahwa jabatan komisaris hanya sebatas hadiah politik.
“Fenomena komisaris dari jalur politik menjadi kesalahan berulang, ini menjadi bagian dari konflik kepentingan, fungsi-fungsi strategis yang melekat pada komisaris seperti pengawasan pada akhirnya akan lumpuh. Apakah penguatan BUMN yang diliputi rangkap dan bagi-bagi jabatan seperti ini yang dikehendaki Presiden?” tutur Asri Widayati, Peneliti Economic Governance TI Indonesia, dalam keterangan pers yang dikutip Aktual.com, Sabtu (19/7/2025).
Komitmen untuk menjadikan birokrasi lebih profesional dan berintegritas sebagaimana tercantum dalam dokumen visi-misi Prabowo-Gibran, justru terancam lumpuh sejak awal pemerintahan.
Dalam dokumen itu, Prabowo-Gibran berjanji membentuk birokrasi yang efisien, menghapus politik transaksional, serta menjunjung sistem merit dalam pembinaan karir.
Tapi kenyataan menunjuk arah sebaliknya, yaitu distribusi kekuasaan dilakukan lewat mekanisme yang tidak transparan, tidak berbasis kompetensi, dan mengaburkan batas antara kekuasaan politik dan fungsi pengawasan korporasi.
Alih-alih memperkuat BUMN sebagai instrumen pembangunan nasional, penunjukan rangkap jabatan ini justru mengarah pada pelemahan institusi. Janji untuk membangun Indonesia Maju bisa terjerat oleh jebakan klasik kekuasaan, loyalitas lebih penting dari kapabilitas.
Mahfud MD: Ada Abuse of Power dan Potensi Kolusi
Mahfud mengatakan, berdasarkan data yang dirilis Indonesia Corruption Watch (ICW) pada akhir 2023, dari seluruh BUMN tercatat memiliki 263 orang komisaris dan pengawas BUMN.
“Dari jumlah ini, 53,9 persen atau 142 orang rangkap jabatan di pemerintahan dan BUMN,” kata Mahfud yang dikutip dari Youtube Mahfud MD Official, Rabu 30 April 2025.
Mahfud menilai wajar sekarang publik makin kritis dengan rangkap pejabat negara di BUMN karena ada potensi korupsi terselubung dan ketidakadilan.
Di sisi lain Istana Kepresidenan menegaskan bahwa rangkap jabatan wakil menteri sebagai komisaris BUMN tidak melanggar konstitusi. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menyebut penunjukan tersebut sah secara hukum karena tidak ada larangan eksplisit dalam Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 80/PUU-XVII/2019.
“Yang jelas sampai hari ini, di putusan MK nomor 80 tahun 2019, tidak ada bunyi putusan yang melarang itu. Itu clear,” ujar Hasan, Selasa (3/6/2025). Ia menambahkan, meski ada pertimbangan soal konflik kepentingan, hal itu tidak tertuang dalam amar putusan yang bersifat mengikat.
Hasan menilai keputusan Presiden menunjuk wakil menteri sebagai komisaris sudah melalui kajian hukum dan tidak melanggar aturan apa pun. “Kalau ada yang menggugat silakan. Itu hak konstitusional warga. Tapi hari ini, per keputusan itu dibuat, tidak melanggar aturan apa pun,” tegasnya.
Istana bersikukuh tidak ada pelanggaran konstitusi dalam penunjukan wakil menteri sebagai komisaris. Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi, menegaskan bahwa tak ada larangan eksplisit dalam Putusan MK Nomor 80/PUU-XVII/2019 yang menyatakan rangkap jabatan sebagai pelanggaran hukum.
“Yang jelas sampai hari ini, di putusan MK nomor 80 tahun 2019, tidak ada bunyi putusan yang melarang itu. Itu clear,” kata Hasan, Selasa (3/6/2025).
Ia juga menyatakan bahwa keputusan Presiden menunjuk wakil menteri sebagai komisaris sudah melalui kajian hukum yang cermat. Meski putusan MK memuat pertimbangan soal potensi konflik kepentingan, Hasan menegaskan itu bukan bagian dari amar putusan yang bersifat mengikat secara hukum. “Tapi wakilnya itu dibolehkan secara aturan,” pungkasnya.
Di antara tafsir hukum dan realitas etika publik, publik kini menyaksikan kontras mencolok antara legalitas administratif dan kehancuran integritas. Ketika negara melegitimasi praktik yang dinilai mengganggu akuntabilitas, maka pertanyaan yang tersisa adalah: apakah hukum cukup menjadi tameng dari runtuhnya tata kelola?
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















