Menteri BUMN, Rini Soemarno secara resmi telah menandatangani Holding BUMN industri pertambangan. (ilustrasi/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Pertumbuhan Produk Domestik Bruto (Gross Domestic Product/GDP) Indonesia tidak sepenuhnya ditopang oleh minyak, gas, pertambangan dan energi listrik. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, GDP terbesar ditopang oleh sektor jasa yang kemudian disusul oleh sektor informasi dan telekomunikasi (9,35). Sektor listrik dan gas hanya menyumbang pertumbuhan 4,88 pada kuartal ke-3 2017, bahkan sektor tambang hanya menyumbang 1,76.

Ekonom senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Faisal Basri mengatakan sektor ekonomi yang tumbuh bagus adalah sektor jasa. Sedangkan sektor jasa tidak menggunakan gas, akhirnya konsumsi gas menjadi memble. Sementara itu, Pertamina dan PGN sama-sama bergerak di bidang Gas, hanya saja model bisnis Pertamina mengambil minyak dan gas, sedangkan PGN sudah bergerak ke penghasil utility dengan solusi 360.

“Lah ini (Pertamina-PGN) mau di holding, orang gila ini. Sektornya saja sudah beda, mau disinergikan bagaimana lagi,” ungkap Faisal Basri di Jakarta, Rabu (14/12).

Menurutnya, sumber utama ketidakpastiaan sektor energi berasal dari kebijakan pemerintah yang selalu berubah-ubah. PLN mengurus dirinya sendiri, Pertamina mengurus dirinya sendiri. Salah satu indikator adalah harga gas yang dijual Pertamina mahal, akibatnya PLN meminta pengecualian.

“Jadi yang bikin gas mahal ya pemerintah sendiri, yang tidak konsisten dengan kebijakan, ingin mengejar bagi hasil yang lebih besar. Nah ini yang bikin mahal harga gas malah ingin menjadi ketua holding,” jelasnya.

Pertamina sebagai Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang 100 persen dimiliki negara punya banyak pekerjaan rumah selain mengurusi sektor gas. Hampir semua industri petrokimia yang ada di Indonesia dikuasai asing, seharusnya pertamina yang mengambil minyak dan gas juga menguasai industri petrokimia.

“Sektor hulu ada pertamina, hilirnya juga banyak, namun di sektor tengah malah kosong, kekosongan ini diambil dari impor. Seharusnya Pertamina melakukan ekspansi ke petrokimia bukan mengambil yang sudah ada. Petrokimia itu ‘ibu’nya industri, sedangkan industri baja adalah bapaknya. Nah industri manufaktur Indonesia ini yatim piatu, sehingga pertumbuhan industri menjadi memble,” pungkasnya.

Artikel ini ditulis oleh:

Dadangsah Dapunta
Eka