Jakarta, Aktual.com-Data sebaran titik panas milik NASA dan rekonstruksi di area konsesi PT Nasional Sago Prima mampu mengungkap penyebab kebakaran hutan dan lahan yang terjadi di lahan seluas 3.000 hektare pada periode 2014-2015.

“Kami melakukan rekonstruksi dengan petunjuk. Cara yang kami pergunakan itu saya ibaratkan seperti CCTV yang merekam terjadinya kebakaran,” kata ahli kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) Bambang Hero Saharjo di Manggala Wanabakti, Jakarta, Jumat (12/8/2016).

Ia mengatakan, menggunakan data satelit lokasi titik panas yang dikeluarkan oleh NASA yang kemudian dihamparkan (overlay) ke atas peta lokasi konsesi PT NSP, sehingga dapat diketahui lokasi titik panas pertama muncul, tanggal, serta waktunya.

Selanjutnya harus diketahui apakah benar apa yang ada di lapangan adalah titik api atau hanya titik panas saja seperti yang tertangkap satelit. Pihaknya juga turun ke lapangan untuk memeriksa langsung bersama tim Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) dan para ahli lainnya dan mengambil sample untuk diperiksa di laboratorium.

“Faktanya setelah kami turun ke lapangan ternyata telah terjadi kebakaran bukan hanya sekadar titik panas saja. Dari hasil ‘overlay’ dengan peta konsesi mereka akhirnya bisa diketahui sebelah mana saja yang terbakar, kapan, dan berapa luasnya,” kata Bambang.

Hasilnya, menurut dia, bisa diambil kesimpulan bahwa kebakaran terjadi pada lahan tidak produktif seluas 2.000 hektare yang di dalamnya tampak telah dilakukan upaya “land clearing”, dan area produktif seluas 1.000 hektare sehingga total lahan yang terbakar mencapai 3000 hektare.

Dengan metode di atas, menurut profesor dari IPB ini, dapat diketahui “pergerakan” api dari hari ke hari, serta dapat diketahui kemana saja perpindahan api, dan ini semua yang kemudian disebut data ilmiah.

“Kita tindak lanjuti dengan melakukan cek lapangan, melakukan sampling, mendapatkan abu, mengetahui luas yang terbakar, di mana saja blok yang tebakar sampai akhirnya bisa kita hitung kerugiannya dengan berpegang pada Peraturan Menteri Lingkungan Hidup (PermenLH) Nomor 7 Tahun 2014,” ujarnya.
Ia mengatakan, pengecekan di lapangan dilakukan selama dua hingga tiga bulan hingga akhirnya diketahui bahwa lahan dibakar untuk keperluan “land clearing”. Kemudian diketahui pula bahwa kebakaran tersebut berasal dari sebuah rangkaian kegiatan yang tidak hanya terjadi di 2015 tetapi di beberapa tahun sebelumnya.

“Lalu kelihatan, kok bisa ya apinya ada di lokasi-lokasi yang sedang di ‘land clearing’ dan sebagainya. Kita cocokan dengan RKP (Rencana Kerja Perusahaan-red), kok bisa ya api ada di sana karena sebenarnya api kan bergerak bebas, tetapi kok dia hanya ke sini tapi tidak ke sana,” ujar Bambang.

Dari hasil tersebut, sambung profesor yang juga menjadi saksi ahli dalam sidang gugatan KLHK terhadap PT NSP ini, diketahui ada intervensi manusia. Rekonstruksi dilaksanakan lagi hingga mendapatkan kesimpulan kebakaran terjadi oleh manusia dengan maksud tertentu.

Sebelumnya diberitakan, bahwa Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan (PN Jaksel) telah memutuskan gugatan KLHK terhadap PT NSP terkait kebakaran hutan dan lahan di lahan konsesi mereka seluas 3000 hektare di Kabupaten Kepulauan Meranti, Riau, pada Kamis 11 Agustus 2016. Dalam amar putusannya Majelis Hakim menghukum tergugat untuk membayar ganti rugi Rp319.168.422.500 dari tuntutan sebesar Rp319.168.422,500.

Selain itu, Majelis Hakim juga menghukum tergugat melakukan tindakan pemulihan sebesar Rp753.000.000.000 dari tuntutan sebesar Rp753.745.500.000. Tergugat juga harus membayar uang paksa (dwangsom) sebesar Rp50 juta per hari atas keterlambatan pelaksanaan putusan setelah inkrah. Majelis Hakim juga menghukum tergugat untuk membayar biaya perkara sebesar Rp462.000.

Artikel ini ditulis oleh:

Antara