Pakar geopolitik asal Inggris Halford Mackinder doktrin geopolitiknya masih tetap diamalkan oleh Amerika Serikat, Inggris dan sekutu-sekutunya di Eropa Barat. Barang siapa menguasai Timur Tengah dan Asia Tengah, berarti menguasai daerah jantung atau Heartland. Menguasai Heartland berarti menguasai dunia. Namun kali ini,bisa meluas melampaui lingkup Asia Tengah dan Timur Tengah. Rusia, Cina, Korea Utara, Venezuela dan Kuba, juga jadi sasaran ancaman AS ke depan.
Bagi Mackinder sebenarnya ini merupakan kode keras atau rekomendasi terhadap pemerintah kerajaan Inggris kala itu, untuk menguasa dua kawasan tersebut, karena mempunyai kandungan sumberdaya alam yang cukup melimpah ruah. Antara lain minyak bumi dan gas. Di kedua kawasan yang kebetulan mayoritas penduduknya beragama Islam ini, 60 persen cadangan minyak bumi dan gas
Bahkan jika jumlah total negara-negara Islam termasuk yang berada di luar kedua kawasan tersebut seperti Indonesia, Malaysia, Brunei Darussalam dari Asia Tenggara, maupun Niegeria, Aljazair, Tunisia, dan Maroko, maka cadangan minyak bumi dan gas yang dimiliki seluruh negara-negara berpenduduk Muslim adalah 66,2 persen hingga 75,9 persen.
Inilah kekuatan nyata dari negara-negera berpenduduk Muslim seperti Arab Saudi, Irak, Qatar, Uni Emirat Arab, Yaman, Libya, Nigeria, Kazakhstan, Azerbaijan, Malaysia, Indonesia, dan Brunei Darussalam.
Menyadari kekuatan geoekonomi negara-negara berpenduduk Muslim tersebut, seharusnya berada dalam posisi tawar yang kuat menghadapi ekspansi politik dan militer AS dan sekutu-sekutu NATO-nya. Betapa tidak. Cadangan minyak yang dimiliki AS saat ini hanya 2 persen dari total cadangan negeri Paman Sam tersebut. Adapun negara-negara penghasil minyak Eropa Barat seperti Inggris, Kanada, Norwegia, Denmark dan Australia, hanya sanggup mengendalikan kurang lebih 4 persen dari total cadangan minyak yang ada.
Sebagian besar cadangan minyak di dunia terletak di ujung Yaman hingga cekungan Laut Kaspia (di Utara) hingga garis pantai Mediterania Timur hingga Teluk Parsi (di Timur). Kawasan Asia Tengah dan Timur Tengah ini, diyakini beberapa pakar perminyakan mengandung lebih dari 60 persen cadangan minyak di seluruh dunia.
Iran saja misalnya, sekadar sebagai ilustrasi, memiliki 10 persen cadangan minyak bumi dan gas di dunia. AS boleh saja digdaya di bidang militer dan persenjataan nuklir, namun cadangan minyak bumi dan gasnya hanya 2 persen dari yang ada di dunia.
Irak, juga tidak bisa dianggap enteng. Cadangan minyak bumi negeri yang saat ini luluh lantak gara-gara serbuan AS dan NATO ke Irak untuk menggulingkan Saddam Hussein, namun cadangan minyak bumi dan gas-nya masih lima kali lebih banyak daripada AS. Dengan makna lain, jika negara-negara Muslim digabung jadi satu termasuk Indonesia, memiliki minyak bumi paling sedikit lima belas kali lipat daripada gabungan negara-negara Barat.
Tentu saja kita juga harus memperhitungkan kekuatan minyak yang dimiliki beberapa negara penghasil minyak non-Muslim di dunia seperti Rusia, Venezuela, Meksiko dan Brazil. Yang mana jika negara-negara tersebut belakangan ini menjalin persekutuan strategis dengan negara-negara Muslim Timur Tengah dan Asia Tengah, maka tamatlah dunia Barat punya cerita.
Maka tidak heran jika di AS, khususnya di kalangan militer Pentagon, sangat khawatir dengan kenyataan obyektif tersebut. Sehingga pada 2000 lalu, Akademi Perang AS atau War College mulai mewacananakan Peta Baru Timur Tengah. Yang mana gagasan pokoknya adalah untuk menggambar ulant peta Timur Tengah Baru.
Michel Chossudovsky dalam bukunya Toward a World War III Scenario, The Danger of Nuclear War, mengutip Arm Forces journal terbitan Juni 2006. Yang mana dalam peta itu negara-negara di Timur Tengah dipecah-belah, perbatasan internasional didefinisikan ulang lagi sesuai kesamaan aliran keislamanan dan kesamaan kesukuan. Pada intinya, wacana menggambar peta ulang Timur Tengah ini merupakan hajatan kepentingan raksasa-raksasa minyak Anglo-Amerika.
Dalam kerangka pemikiran para perancang kebijakan strategis keamanan nasional di Washington, Iran dan Suriah merupakan sasaran utama penaklukkan. Karena kedua negara tersebut mempunyai kekuatan nasional yang cukup kuat dan mengakar di negaranya masing-masing. Buktinya, sampai hari ini Republik Islam Iran dan pemerintahan Bashar al Assad masih tetap bertahan kokoh sampai sekarang. Berarti, kedua negara tersebut punya ketahanan nasional yang cukup kuat.
Untuk melemahkan kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah, AS dan sekutu-sekutunya di NATO nampaknya menerapkan Skenario Perang Saudara. Termasuk di kawasan Afrika yang mana terdapat negara-negara kaya minyak seperti Nigeria, Sudan, Somalia, Yaman, Angola, dan bahkan Chechnya, yang hingga kini melancarkan gerakan separatisme memisahkan diri dari Rusia.
Perang Saudara yang terjadi di Darfur di Sudan maupun Somalia, misalnya, terungkap bahwa AS memberi bantuan senjata maupun pelatihan paramiliter. Mengapa Darfur dikondisikan terjadi perang saudara? Karena di Darfur ada cadangan minyak bumi yang besar sekali. Begitupula Somalia, yang telah memberikan konsesi yang sangtat menguntungkan buat empat korporasi raksasa minyak Anglo-Amerika. Seperti Conoco, Phillips, Amroco(sekarang bagian dari Britihs Petroleum), dan Chevron.
Ketika Presiden Somalia yang pro Amerika Mohamed Siad Barre, digulingkan pada 1991, korporasi-korporasi raksasa minyak Anglo-Amerika dalam posisi yang tidak menguntungkan. Ketika George W Bush berkuasa pada 2000-2008, melalui War on Terrorism pasca September 2001, Sudan dan Somalia berhasil dikuasai kembali melalui tekanan militer dengan dalih kedua negara tersebut merupakan sarang teroris atau melindungi para teroris.
Melalui manuver militer Bush di Somalia dan Sudan pasca September 2001, investasi korporasi-korporasi minyak Anglo-Amerika tersebut berhasil diamankan dan dilindungi. Ini semua dilakukan AS dan sekutu-sekutunya, untuk menguasai dan mengendalikan 60 persen cadangan minyak di Timur Tengah dan Asia Tengah.
Perang Global melawan terorisme yang dilancarkan AS pasca September 2001, sejatinya merupakan dalih untuk melakukan invasi militer terhadap beberapa negara di Timur Tengah atau Asia Tengah, yang kaya minyak namun pemerintahannya tidak mau diajak kompromi untuk memberikan konsesi kepada beberapa korporasi raksasa minyak AS seperti disebut di atas. Seperti Irak, Sidan, Somalia, Lebanon dan Suriah.
Pilihannya, kalau tidak invasi langsung seperti terhadap Afghanistan pada 2001 atau Irak pada 2003, dengan menyeponsori Perang Saudara seperti dilakukan di Sudan, Lebanon dan Suriah. Iran yang memiliki 10 persen cadangan minyak bumi dan gas alam lokal, saat ini menduduki peringkat ketiga dengan cadangan terbesar setelah Arab Saudi dan Irak.
Bahkan terbetik kabar terbaru bahwa di Iran telah ditemukan cadangan gas alam terbesar kedua di Soumar dan Halgan, dengan besaran diperkirakan sekitar 12,4 triliun kaki kubik. Namun nampaknya AS masih banyak pertimbangan untuk menguasai Iran, mengingtat resiko harus berhadapan langsung dengan Rusia dan Cina yang juga sangat berkepentingan untuk berperan dan hadir di kawasan Teluk Parsi dan Timur Tengah.
Begitupun, Pentagon tetap mencanangkan Iran sebagai bagian dari peta jalan militer yang perlu dikoordinasikan dan diorganisir secara global, dalam rangka merebut kembali kendali ekonomi minyak dan gas bumi Iran, termasuk dalam menguasai jalur pipanya.
Namun demikian, meskipun saat ini dalam skenario Perang Dunia III Pentagon seakan sasaran pokok hanya Timur Tengah dan Asia Tengah, namun secara geopolitik peperangan bisa saja meluas melampaui lingkup Asia Tengah dan Timur Tengah.
Sebab meskipun sasaran langsung AS adalah Suriah, Iran dan Lebanon namun Cina, Rusia dan Korea Utara, belum lagi Venezuela dan Kuba, dalam jangka panjang juga merupakan sasaran ancaman AS dan sekutu-sekutunya yang tergabung dalam NATO.
Hendrajit, Redaktur Senior Aktual dan Pengkaji Geopolitik Global Future Institute (GFI)