Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi (Aktual/Ilst)
Demokrasi Berkebudayaan dan Budaya Berdemokrasi (Aktual/Ilst)
Yudi Latif Cendekiawan NU Pengamat Kompas/Heru Sri Kumoro (KUM) 27-01-2015
Oleh: Yudi Latif

Keseluruhan desain institusi demokrasi itu deletakkan dalam kerangka semangat sila keempat Pancasila, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan”. Dalam pokok pikiran ketiga dari Pembukaan UUD 1945 disebutkan bahwa demokrasi itu hendaknya mengandung ciri: (1) kerakyatan (daulat rakyat); dan (2) permusyawaratan (kekeluargaan).

Cita-cita pemuliaan daulat rakyat bergema kuat dalam sanubari para pendiri bangsa sebagai pantulan dari semangat emansipasi dari aneka bentuk penindasan, khususnya penindasan yang ditimbulkan oleh kolonialisme dan feodalisme, yang bersahutan dengan semangat egalitarianisme. Cita kerakyatan hendak menghormati suara rakyat dalam politik; dengan memberi jalan bagi peranan dan pengaruh besar yang dimainkan oleh rakyat dalam proses pengambilan keputusan yang dilakukan oleh pemerintah. Cita permusyawaratan memancarkan kehendak untuk menghadirkan negara persatuan yang dapat mengatasi paham perseorangan dan golongan, sebagai pantulan dari semangat kekeluargaan dari pluralitas kebangsaan Indonesia dengan mengakui adanya “kesederajatan/persamaan dalam perbedaan”. Dalam kaitan ini, Soekarno meyakini bahwa syarat yang mutlak untuk kuatnya negara Indonesia ialah permusyawaratan perwakilan. Karena itu, dengan “asas kerakyatan” itu, negara harus menjamin bahwa setiap warganegara memiliki kedudukan yang sama di dalam hukum dan pemerintahan.

Selain kedua ciri tersebut, demokrasi Indonesia juga mengandung ciri “hikmat-kebijaksanaan”. Cita hikmat-kebijaksanaan merefleksikan orientasi etis, sebagaimana dikehendaki oleh Pembukaan UUD 1945 bahwa susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat itu hendaknya didasarkan pada nilai-nilai ketuhanan, perikemanusiaan, persatuan, permusyawaratan dan keadilan. Dalam kaitan ini, Mohammad Hatta menjelaskan bahwa, “Kerakyatan yang dianut oleh bangsa Indonesia bukanlah kerakyatan yang mencari suara terbanyak saja, tetapi kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan.” Selanjutnya dikatakan, “Karena itu demokrasi Indonesia bukan demokrasi liberal dan juga bukan demokrasi totaliter, karena berkaitan secara menyeluruh dengan sila-sila Pancasila lainnya” (Hatta, 1957: 34-35). Orientasi etis (hikmat-kebijaksanaan) ini dihidupkan melalui daya rasionalitas, kearifan konsensual, dan komitmen keadilan yang dapat menghadirkan suatu toleransi dan sintesis yang positif sekaligus dapat mencegah kekuasaan dikendalikan oleh “mayorokrasi” dan “minorokrasi”.

Dalam demokrasi permusyawaratan, suatu keputusan politik dikatakan benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada asas rasionalitas dan keadilan bukan hanya berdasarkan subjektivitas ideologis dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan demi kepentingan perseorangan atau golongan. Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi negatif). Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat menangkal dikte-dikte minoritas elit penguasa dan pengusaha serta klaim-klaim mayoritas.

Tentang bagaimana cara bekerjanya demokrasi permusyawaratan, Hatta menganjurkan perlunya berjejak pada tradisi permusyawaratan desa. Meski demikian, dia mengingatkan bahwa tidak semuanya yang tampak bagus pada demokrasi desa bisa dipakai begitu saja pada tingkat negara. ”Mufakat yang dipraktekkan di desa-desa ialah mengambil keputusan dengan kata sepakat, dengan persetujuan semuanya, setelah masalahnya diperbincangkan dengan panjang lebar.” Adapun pada tingkat negara, menurutnya ”terdapat berbagai partai dan pertentangan politik”, sehingga keputusan dengan mufakat secara bulat memang sulit dicapai dalam Dewan Perwakilan Rakyat. Oleh karena itu, sebagai pilihan terakhir, harus dimungkinkan pengambilan keputusan dengan suara terbanyak. Berkaitan dengan itu, Hatta menegaskan bahwa ”mufakat yang dipaksakan sebagaimana lazim terjadi di negeri-negeri totaliter tidaklah sesuai dengan paham demokrasi Indonesia, sebab mufakat baru jadi sebagai hasil daripada permusyawaratan. Dengan tidak ada musyawarat, di mana tiap-tiap orang berhak untuk menyatakan pendapatnya, tidak ada mufakat” (Hatta, 1956; 1988: 14).

Dalam konteks inilah, Hatta mengingatkan bahwa masyarakat kolektif yang demokratis perlu merawat mentalitas kolektif yang cenderung pada kemaslahatan umum, sebagai prasyarat rohaniah yang memudahkan tercapainya mufakat. Selengkapnya dia katakan:
Tetapi di dalam masyarakat kolektif yang demokratis, seperti Indonesia, mentalitet orang-seorang berlainan dari di dalam masyarakat individualis. Dalam segala tindakannya dan menyatakan pendapatnya, ia terutama dikemudikan oleh kepentingan umum. Dalam keselamatan kesemuanya terletak kepentingannya sendiri. Sebab itu, pada dasarnya, mencapai kata sepakat lebih mudah.

Mentalitas kolektif ini, menurutnya, tidak perlu membuat seseorang menjadi objek kolektivitas yang tidak memiliki kebebasan untuk memilih. Yang diperlukan adalah bahwa kemerdekaan individu itu harus beroperasi dalam batas garis kontur kemaslahatan umum.

Selengkapnya dia katakan: Sungguh pun orang-seorang dalam pikirannya dan dalam tindakannya ke luar terikat kepada cita-cita kepentingan umum, ia bukan obyek semata-mata daripada kolektivitet, seperti yang berlaku dalam negara totaliter. Ia tetap subyek yang mempunyai kemauan, merdeka bergerak untuk mengadakan perhubungan yang spesial, untuk mengadakan diferensiasi. Dalam perikatan masyarakat ia tetap mempunyai cita-cita, mempunyai pikiran untuk mencapai kemaslahatannya atau keselamatan umum (Hatta, 1956; 1988: 15).

Alhasil, dalam demokrasi permusyawaratan, suara mayoritas diterima sebatas prasyarat minimum dari demokrasi, yang masih harus berusaha dioptimalkan melalui partisipasi dan persetujuan yang luas dari segala kekuatan secara inklusif. Partisipasi dan persetujuan luas ini dicapai melalui persuasi, kompromi, dan konsensus secara bermutu dengan mensyaratkan mentalitas kolektif dengan bimbingan hikmat-kebijaksanaan, sehingga membuat kekuatan manapun akan merasa ikut memiliki, loyal, dan bertanggung jawab atas segala keputusan politik. Atas dasar itu, pemungutan suara (voting) harus ditempatkan sebagai pilihan terakhir, dan itu pun masih harus menjunjung tinggi semangat kekeluargaan yang saling menghormati.

Dalam demokrasi permusyawaratan, kebebasan kehilangan makna substantifnya sejauh tidak disertai kesederajatan dan persaudaraan (kekeluargaan). Kesederajatan dan semangat kekeluargaan dari perbedaan aneka gugus kebangsaan diperkuat melalui pemuliaan nilai-nilai keadilan. Menurut penjelasan Mohammad Hatta, “Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan berhubung erat pula dengan sila Keadilan Sosial, yakni untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat” (Hatta, 1957: 35). Lebih lanjut, dalam Demokrasi Kita (1960), Hatta mengatakan, “Demokrasi politik saja tidak dapat melaksanakan persamaan dan persaudaraan. Di sebelah demokrasi politik harus pula berlaku demokrasi ekonomi. Kalau tidak, manusia belum merdeka, persamaan dan persaudaraan belum ada”.

Senada dengan itu, Soekarno menegaskan bahwa demokrasi yang harus dikibarkan di negara ini adalah demokrasi politik dan ekonomi: Bagaimana dan demokrasi yang harus dituliskan di atas bendera kita,–yang harus kita adakan di seberang jembatan-emas? Demokrasi kita haruslah demokrasi baru, demokrasi sejati, demokrasi yang sebenar-benarnya pemerintahan Rakyat. Bukan ’demokrasi’ à la Eropah dan Amerika yang hanya suatu ’potret dari pantatnya’ demokrasi-politik sahaja, bukanlah demokrasi yang memberi kekuasaan 100% pada Rakyat di dalam urusan politik sahaja, tetapi suatu demokrasi politik dan ekonomi yang memberi 100% kecakrawartian pada Rakyat-jelata di dalam urusan politik dan urusan ekonomi. Demokrasi politik dan ekonomi inilah satu-satunya demokrasi yang boleh dituliskan di atas bendera partai,–ditulis dengan aksara-aksara-api sebagai di atas saya katakan, agar supaya menyala-nyala tertampak dari ladang dan sawah dan bingkil dan paberik di mana Marhaen berkeluh-kesah mandi keringat mencari sesuap nasi (Soekarno, 1965: 320).

Demikianlah rancang bangun Konstitusi Proklamasi dalam menjaga harmoni antara kesatuan dan kebhinekaan. Dalam kejernihan bening budi bangsa Indonesia disadari bahwa kemerdekaan hanya bisa dicapai dan diisi dengan menyertakan etos kedua sayap kebudayaan itu. Secara metaforis, kesadaran ini tercermin pada detik-detik menjelang Proklamasi Kemerdekaan Indonesia. Ketika matahari mulai meninggi, dan kerumunan massa yang tak sabar mendesak Bung Karno untuk segera mengucapkan proklamasi, yang didesak tetap tak mau bangkit dari peraduan tanpa kehadiran sebuah nama. “Aku masih menderita demam, tetapi aku tidak kehilangan akal. Menghadapi desakan-desakan kepadaku, yang mengherankan, aku masih dapat berpikir dengan jernih. ‘Hatta belum datang,’ kataku, ‘Aku tidak mau membacakan proklamasi tanpa Hatta’.” (Soekarno, 1965).

Namun di dalam perkembangan lebih lanjut, pelaksanaan sistem pemerintahan negara sering kali melenceng dari maxim keseimbangan itu. Menyusul Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta (3 November 1945), politik Indonesia lebih berat pada sayap kebhinekaan. Di luar ekspektasi Hatta sendiri, jumlah partai politik meledak, disusul oleh penerapan sistem pemerintahan parlementer yang menyimpang dari Konstitusi Proklamasi—meski dapat dipahami untuk kepentingan diplomasi yang memaksa Soekarno untuk melengkungkan (meski tak mematahkan) pendiriannya. Konsekuensinya, Bung Karno (lambang unitas) “ditinggalkan” sekadar sebagai Presiden simbolik. Diversitas menjadi orientasi politik, bahkan di saat negara memerlukan persatuan dalam menghadapi agresi Belanda, partai-partai sibuk dengan kepentingannya masing-masing, mengabaikan komitmen pada blue-print pembangunan kesejahteraan bersama. Pemerintahan silih berganti, dengan tidak ada kabinet yang bisa bertahan lebih dari dua tahun. Pemilu 1955 yang diharapkan menjadi tonggak bagi perwujudan pemerintahan yang stabil tidak memenuhi harapan.

Tahun 1956, Bung Karno yang mulai kehilangan kesabaran menyerukan pembubaran partai politik. Terbentur pada kesulitan pembubaran partai politik, ia pun mundur beberapa tindak dengan mengeluarkan serangkaian konsepsi yang mengarah pada penyerdahaan partai politik, memasukan anasir golongan fungsional ke dalam DPR, serta pembentukan kabinet gotong-royong/kabinet karya, yang kesemuanya itu mengarah pada sistem pemerintahan yang lebih berat pada sayap kesatuan. Pada tahap ini, giliran Bung Hatta (lambang diversitas) yang “ditinggalkan” menyusul pengunduran dirinya sebagai Wakil Presiden pada 1956.

Setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959, kecenderungan watak pemerintahan bablasan Orde Lama itu diteruskan oleh Orde Baru secara lebih eksesif. Meskipun rezim ini mengklaim menjalankan Pancasila dan UUD 1945 secara murni dan konsekuen, dalam pelaksanaannya banyak yang menyimpang dari desain keseimbangan yang dikehendaki Konstitusi Proklamasi.

Di bawah rezim yang menekankan unitas seperti itu harus diakui politik lebih memperhatikan pembangunan, stabilitas politik terjamin, pertumbuhan ekonomi menggembirakan. Di sisi lain, pemaksaan penyederhanaan partai, kecenderungan sentralisasi kekuasaan, pengekangan hak-hak berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat, serta penyeragaman budaya yang mengarah pada dekulturisasi golongan etnis minoritas, banyak mengorbankan dimensi kebhinekaan Indonesia.

Terbukti, corak kekuasaan seperti itu pun tidak tahan banting. Meningkatnya akumulasi modal swasta, ledakan dalam jumlah lulusan pendidikan tinggi dan kelas menengah perkotaan, serta perubahan mood dalam hubungan internasional, membawa desakan yang lebih kuat ke arah perluasan keterbukaan dan partisipasi politik. Begitu pertumbuhan ekonomi yang menjadi basis legitimasi rezim developmentalisme-represif jatuh karena krisis ekonomi, rezim Orde Baru pun segera tumbang oleh ledakan partisipasi politik.
Orde Reformasi muncul dengan membawa pendulum sejarah bergerak ekstrem menuju diversitas. Ledakan multi-partai menarik komitmen politik pada kepentingan partikularitas.

Kekuasaan negara menjadi kekuasaan partai, dengan memagnifikasi fungsi DPR dan mengintervensi jabatan-jabatan pemerintahan. MPR sebagai lembaga kedaulatan rakyat tertinggi, representasi semangat kekeluargaan segala kekuatan rakyat, dikosongkan dari utusan golongan (simpul persatuan) dan dijatuhkan posisinya sekadar lembaga tinggi biasa, lantas dilucuti perannya dalam menetapkan GBHN. Meski Konstitusi hasil amandemen menyatakan bahwa bentuk Negara Kesatuan Republik Indonesia tidak dapat dilakukan perubahan, secara de facto urat nadi Negara Kesatuan itu sendiri sudah robek dengan menyisakan retakan-retakan dalam konektivitas antara pemerintahan pusat dan daerah, bahkan antardaerah Tingkat Dua dalam satu propinsi, yang tak terbayangkan dalam bentuk negara federal sekalipun.

Dalam keterbukaan ruang publik Orde Reformasi ini, anak-cucu Soekarno bisa memainkan peran politik, tapi jatung kesadaran Bung Karno dimatikan secara sistemik. Kombinasi antara penjelimetan prosedur demokrasi dan partikularisme politik menggelembungkan biaya politik seraya mengempiskan komitmen politik pada persatuan dan kesejahteraan bersama.

Dengan meninggalkan Bung Karno, Orde Reformasi juga tak sepenuhnya memuliakan Bung Hatta, ketika tekanan pada diversitas tidak dibarengi oleh kekuatan individualitas yang diidealisasikan Bung Hatta. Ledakan diversitas tanpa otonomi-kritisisme individu hanya membuat politik dirayakan oleh kerumunan, yang mudah “dijinakkan” oleh sogokan uang atau dibelokan ke arah anarkisme dan terorisme komunal.

Setelah 69 tahun Indonesia merdeka, bangsa Indonesia tak kunjung belajar dari sejarah yang membuatnya tak kunjung sadar bahwa dua proklamatornya, Soekarno dan Mohammad Hatta, bukan sekadar dua nama yang kebetulan tampil pada momen yang tepat. Keduanya tampil berkat rahmat Tuhan sebagai manifestasi ‘tindakan sejarah’ (historical action) dan ‘penemuan sejarah’ (historical self-invention) dari kegigihan pergulatan dua arus besar kebudayaan Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu penjajahan dengan memadukan diri dalam sejoli monodualisme kekuatan sejarah Indonesia: “bhinneka tunggal ika” (unity in diversity).

(Bersambung…)