Dari Situasi Otoriter ke Situasi tanpa Otoritas

Berkurangnya kebebasan negara ini terjadi ketika negara-bangsa Indonesia sedang bertransformasi menuju demokrasi, yang menghendaki penguatan otosentrisitas (kedaulatan) negara guna merespon meluasnya tuntutan rakyat di dalam negeri.

Tanpa otosentrisitas, transisi menuju demokrasi, seperti yang berlangsung di Indonesia, kerapkali hanyalah membuat pendulum sejarah berayun dari situasi otoriter menuju situasi tanpa otoritas. Padahal, demokrasi memang bermaksud menghilangkan yang pertama, namun tak bisa ditegakkan tanpa yang kedua. Dan hari-hari ini, kita menyaksikan aneka peraturan dan pembangunan tak jalan karena lemahnya wibawa otoritas.

Lemahnya wibawa otoritas ini ditandai oleh tiadanya aparatur penggaransi kepastian, akibat terjadinya pengembangbiakkan kelembagaan negara serta penyebaran pusat-pusat kekuasaan dengan sistem checks and balances dan batas kewenangan yang kabur. Selain itu, berbagai undang-undang dibuat secara tumpang tindih dengan diwarnai oleh konflik horizontal dan vertikal antara lembaga-lembaga kenegaraan.

Melemahnya otoritas negara ini antara lain karena kita tidak cukup konsisten dengan prinsip-prinsip reformasi itu sendiri.  Istilah ”reform” menurut Oxford Advanced Learner’s Dictionary (1978) berarti ”make or become better by removing or putting right what is bad or wrong.”  Dengan demikian, reformasi pada dasarnya usaha gradual untuk  mengubah atau membuat sesuatu lebih baik dari keadaan sebelumnya. Reformasi tidak bermaksud menghancurkan segala tatanan yang telah ada, melainkan berusaha menyempurnakaannya,  dengan membuang yang buruk dan meningkatkan yang baik.

Dalam hal ini, ada baiknya kita berpaling pada pandangan Joseph Stiglitz, peraih hadiah nobel untuk bidang ekonomi pada 2001. Beliau berkata, “I had been a strong advocate of the gradualist policies adopted by the Chinese, policies that have proven their merit over the past two decades; and I have been a strong critic of some of the extreme reform strategies such as ‘shock’ therapy that have failed so miserably in Russia and some of the other countries of the former Soviet Union” (Stiglitz, 2002: x-xi).

Stiglitz menekankan perlunya kehati-hatian dan langkah bertahap dalam usaha reformasi. Karena reformasi yang dijalankan secara tergesa-gesa dalam skala yang massif akan melampaui kepasitas administrasi negara untuk menanganinya, yang pada akhirnya akan memunculkan “negara lemah” (weak sate) yang mudah tunduk pada dikte-dikte pasar dan kekuatan-kekuatan internasional.

Dalam banyak hal, gerakan reformasi di Indonesia justru terlalu luas cakupannya, terlalu dalam penetrasinya, dan terlalu cepat pelaksanannya;  tanpa perhitungan yang matang mengenai dampak ikutan dan prasyarat yang mesti dipenuhinya. Salah satu contoh terbaik mengenai hal ini adalah dampak dari amandemen Undang-Undang Dasar 1945, yang berskala luas dalam tempo yang singkat, yang memiliki implikasi yang luas dan mendalam bagi penyelenggaraan Pemerintahan Negara.

Amandemen UUD 1945 berimplikasi pada sistem administrasi pemerintahan Negara terutama dalam lima aspek:

Pertama, implikasi pada sistem administrasi kebijakan publik. Dalam hal ini, sebagai tindak lanjut dari amandemen, berdasarkan Undang-Undang No. 10 tahun 2004, beberapa jenis dan hierarki peraturan perundangan-undangan Republik Indonesia mengalami perubahan, yakni hilangnya Ketetapan MPR (TAP MPR) dalam tata urutan perundang-undangan.

Kedua, implikasi pada sistem administrasi perencanaan,pembiayaan dan pelaksanaan negara. Pada tataran nasional, sistem perencanaan berubah dengan tidak adanya lagi GBHN, yang kemudian diganti dengan rencana pembangunan yang mengutamakan permasalahan yang berkembang yang perlu segera ditangani.

Ketiga, implikasi pada sistem administrasi pelayanan publik. Jika sebelumnya pemerintah pusat lebih berperan dalam pelayanan publik, setelah amandemen pemerintah daerah memegang peranan lebih dalam pelayanan publik. Selain beberapa implikasi positif, perubahan ini juga menimbulkan beberapa permasalahan baru yang tak kalah peliknya. Hal ini terentang mulai dari masih tumpang tindihnya otoritas pusat dan daerah serta konflik antardaerah, munculnya aneka perda syariah serta berbagai perda tentang  pajak dan retribusi  yang menimbulkan ekonomi biaya tinggi dan memberatkan masyarakat.

Keempat, implikasi pada administrasi perekonomian negara. Penambahan ayat 4, pada pasal 33 UUD 1945 membawa celah  kontestasi bada dalam perumusan perundanng-undangan yang menyangkut perekonomian dan kesejahteraan sosial. Perubahan ini akan menimbulkan tantangan baru bagi administrasi perekonomian negara yang lebih responsif terhadap tuntun pasar, yang jika tanpa hati-hati bisa merugikan kesejahteraan dan pelayanan umum.

Kelima, implikasi pada sistem administrasi pengawasan dan pertanggungjawaban. Sebelum amandemen, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) berfungsi sebagai pemeriksa pengelolaan dan tanggungjawab tentang keuangan negara.  Setelah amanden dinyatakan bahwa BPK memiliki perwakilan di setiap provinsi.  Hal ini akan mengakibatkan pembesaran scope BPK di masa depan. Dan ini berpotensi menimbulkan overlapping dengan otoritas lainnya,  seperti Badan Pengawas Daerah (Bawasda), BPKP, Inspektorat Jenderal, dan Inspektorat Wilayah Propinsi.

Selain itu, menyusul pemilihan presiden secara langsung, presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada MPR, dan MPR hanya berwenang melantik saja. Presiden bertangujawab kepada rakyat yang diperankan oleh DPR yang memegang fungsi legislasi, anggaran dan pengawasan serta berbagai hak lainnya. Peran DPR menjadi terlalu kuat bahkan ikut menentukan pengangkatan dan penerimaan Duta Besar yang mestinya menjadi kewenangan Presiden.

Di luar itu, amandemen konsitusi juga telah mengembangbiakkan kelembagaan negara dengan lahirnya berbagai lembaga negara tambahan seperti Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan Mahkamah Konstitusi, serta aneka bentuk agen-agen kelembagan negara pembantu (state auxiliary agencies) dalam wujud puluhan komisi baru. Aneka lembaga negara baru ini selain masih kabur dan saling tumpang-tindih dalam kewenangannya, juga berimplikasi luas pada sistem administrasi dan pembiayaan negara.

Bersambung

Oleh: Yudi Latif, Chairman Aktual

Artikel ini ditulis oleh: