Akhirnya nama perkampungan baru itu dinamakan Sembalun Lawang yang berasal dari kata Sembah, patuh/tunduk/takzim dan wulun, pemimpin/raja atau orang agung yang dimuliakan, bisa juga yang Maha Kuasa. “Lawang pintu masuk pertama,” katanya.
Kendati demikian, ketujuh kepala keluarga itu masih bolak-balik ke rumah lamanya sambil mendirikan rumah di perkampungan yang baru itu. Perkampungan itu sampai sekarang berdiri dan warganya mayoritas berprofesi sebagai petani sayur-sayuran. Hingga 1990-an, bangunan di perkampungan itu masih menghadap ke arah utara, sama dengan bangunan adat Desa Beleq.
Pascagempa rusak Saat ini, kondisi ketujuh bangunan itu sangat memprihatinkan pascamusibah tiga kali gempa yang terjadi berturut-turut di Pulau Lombok.
Sejumlah bangunan beratap jerami itu, sudah runtuh dan sebagian tanah lantai bangunan itu ambrol. Pagar yang mengelilingi perkampungan adat itu juga sudah tidak berbentuk.
Hewan ternak sapi dibiarkan berkeliaran di area bangunan bersejarah itu tanpa ada yang mengusirnya. “Beginilah kondisi kampung adat ini,” kata salah seorang penjaga.
Tidak ada lagi pengunjung yang ingin mengetahui sejarah kampung adat itu, bahkan pos informasi yang berada di pintu gerbang juga, sama sekali tidak ada penjaga.
“Tentunya ini akan diperbaiki lagi rumah adat ini,” kata Mertawi yang juga Sekretaris Dinas Pariwisata Kabupaten Lombok Barat.
Kini, tinggal menunggu sikap pemerintah daerah setempat termasuk pemerintah desa, berupaya memperbaiki bangunan bersejarah yang menjadi cikal bakal penduduk Sembalun.
Ant.
Artikel ini ditulis oleh: