RENTETAN kerusuhan nasional 28–31 Agustus 2025 bermula dari demonstrasi damai menolak tunjangan fantastis bagi anggota DPR RI. Rencana tunjangan perumahan Rp50 juta per bulan yang hampir 10 kali lipat UMP DKI Jakarta memicu kemarahan publik.
Protes mahasiswa dan elemen masyarakat pada akhir Agustus itu adalah puncak dari kemarahan publik, rasa frustasi kolektif atas berbagai persoalan ekonomi, kesenjangan kelas sosial. Rakyat berjibaku dengan biaya hidup tinggi. Tapi diblain sisi, wakil rakyat menaikkan tunjangan.
Aksi yang dipicu isu tunjangan berlebih tersebut segera meluas. Demonstrasi awal pekan itu berujung kerusuhan pada 29 -30 Agustus setelah seorang pengemudi ojek online Affan Kurniawan tewas terlindas kendaraan polisi saat pengendalian massa
Insiden tragis ini menyulut emosi massa, sehingga aksi protes di Jakarta dan berbagai kota berubah menjadi bentrokan disertai penjarahan rumah pejabat serta pembakaran gedung DPRD di daerah. Situasi pun kian tak terkendali, menorehkan korban jiwa dan luka, serta guncangan politik terbesar sejak 1998
Sejatinya, demontrasi seperti biasa diawali oleh kelompok masyarakat sipil, kaum intelektual, dan mahasiswa yang murni menyuarakan aspirasi. Kelompok ini turun ke jalan didorong oleh idealisme dan kepedulian atas kebijakan DPR yang dianggap tidak peka terhadap penderitaan rakyat.
Mereka memprotes privilese elit politik di tengah kesenjangan ekonomi yang nyata. “Kemarahan rakyat Indonesia sudah lama terakumulasi. Viral video hanya menjadi percikan api, tetapi bahan bakarnya adalah ketidakadilan ekonomi dan perilaku korup pejabat,” tegas Arya Fernandes, pengamat politik dari CSIS.
Para mahasiswa pun menegaskan hal serupa. Koordinator pusat BEM Seluruh Indonesia, Muzammil Ihsan, menyebut pemotongan tunjangan DPR saja dianggap belum cukup, karena kemarahan di jalanan itu bukan tanpa sebab.
Dengan kata lain, elemen pertama ini lahir dari kegelisahan otentik atas kesewenang-wenangan elit, yang dipicu pula oleh simbol-simbol provokatif seperti joget riang anggota DPR di tengah derita rakyat. Aspirasi mereka jelas, menolak tunjangan tidak pantas dan menuntut empati serta keadilan kebijakan.
Namun di tengah jalan demonstrasi damai ini diinfiltrasi oleh setidaknya tiga kelompok yang memiliki berbagai tujuan berbeda. Mereka memanfaatkan kemarahan rakyat dengan target terjadi benturan antar pendemo dengan aparat.
Kelompok pertama, adalah oligarki atau elite ekonomi lokal yang diduga menunggangi momentum kerusuhan untuk agenda tersembunyi. Sejumlah analis menilai bahwa instabilitas yang terjadi dimanfaatkan oleh segelintir pemodal besar yang kecewa terhadap pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
Mereka menilai pemerintah gagal menjaga iklim stabil bagi bisnis, sehingga mengambil kesempatan dalam krisis ini untuk mendelegitimasi kekuasaan yang ada. Khairul Fahmi dari ISESS mengingatkan bahwa di balik kerusuhan yang tampak spontan, ada elemen yang terencana dengan berbagai tujuan. Mulai dari penjarahan oportunistis hingga strategi menciptakan kekacauan untuk delegitimasi pemerintah secara menyeluruh
Kelompok oligarki ini berusaha menekan pemerintah Prabowo agar mengubah kebijakan yang dianggap merugikan kepentingan mereka. Terlebih dari bidang hukum yang dianggap menganggu ‘rantai bisnis’ di mana pemerintah sedang unjuk gigi babad kelompok “serakahnomic”.
“Demonstrasi bisa menjadi alat untuk menekan pemerintah agar mengubah kebijakan yang mengganggu bisnis. Dengan menyulut instabilitas, oligarki bisa memaksa pemerintah berkompromi,” tulis pengamat politik Rokhmat Widodo
Dalam sejarah politik Indonesia, oligarki kerap bergerak sebagai bayang-bayang di belakang layar, menggerakkan operator lapangan atau ormas demi menjaga kepentingan mereka
Pada kerusuhan kali ini, para taipan yang kecewa diduga ikut bermain, misalnya karena kebijakan ekonomi Prabowo yang tidak sejalan dengan ekspektasi mereka.
Dengan mendompleng aksi massa, mereka berharap kegaduhan ekonomi-politik akan melemahkan posisi pemerintah Prabowo, yang selanjutnya merugikan legitimasi rezim di mata publik maupun investor.
Kelompok kedua adalah konglomerasi Barat (Amerika dan Eropa). Pengkaji geopolitik sekaligus Direktur Eksekutif Global Future Institute, Hendrajit, menegaskan ada aktor asing non-negara yang menjadi dalang di balik layar. Kerusuhan yang meletus, menurutnya, pada 28–29 Agustus 2025 dinilai bukanlah semata ledakan spontan masyarakat.
“Sosoknya itu non-state actor, jadi aktor tapi bukan negara, tapi punya pengaruh kuat entah ekonomi entah politik. Dan sifatnya non-violence,” ujar Hendrajit.
Menurutnya, pola intervensi ini sejalan dengan skema korporasi Barat yang secara historis kerap memanfaatkan masa transisi politik di Indonesia. “Kalau bicara 98 itu NDI terlibat, intervensi asing walaupun nggak ada sosok tapi dengan dua organ ini sudah gambaran korporasi main,” beber Hendrajit.
Kini, jaringan tersebut disebut beroperasi melalui Kementerian Keuangan dan BUMN dan konglomerasi lokal, untuk menjaga dominasi ekonomi mereka. Dia menilai kebijakan Presiden Prabowo seperti nasionalisasi lahan sawit serta pemberantasan mafia tambang dan beras dianggap sebagai ancaman bagi kepentingan korporasi global dan konglomerasi lokal.
“Kerusuhan diarahkan ke anarki. Tadinya people power yang damai, tapi kemudian dibelokkan agar menjadi huru-hara,” jelasnya.
Kelompok “KKO” Sang Operator Lapangan
Hendrajit juga menyoroti adanya kelompok lapangan yang terorganisir rapi, lengkap dengan logistik hingga bom molotov. Namun, itu bukan representasi aksi damai melainkan skenario chaos.
“Itu aktor lapangan yang menjabarkan skema dari sutradara bayangan. Bayangannya ini nyata ada, tapi tidak kasat mata,” tegas Hendrajit.
Lalu siapa para operator lapangan sebagai tuas para konglomerasi Barat dan lokal? Hendrajit menduga mereka bukan kelompok kanan atau kiri.
“Mereka ini kita sebut sebagai kelompok KKO. Alias kelompok kanan kiri ok,” pungkasnya.
Sedangkan kelompok ketiga, terdapat kelompok elite politik tertentu yang merasa terancam karena kehilangan posisi dan akses kekuasaan pasca konfigurasi politik terbaru. Para elite ini, terutama dari pihak oposisi atau faksi yang tersisih, diduga memiliki kepentingan menciptakan instabilitas sebagai alat tawar-menawar politik.
Mereka melihat kerusuhan sebagai momentum untuk melemahkan lawan dan memperoleh konsesi. “Elite politik oposisi sering disebut-sebut sebagai pihak yang memiliki kepentingan besar mendorong terjadinya kerusuhan,” ungkap Rokhmat Widodo.
Kebijakan Prabowo yang disampaikan dalam pidato kenegaraan, akan melawan mafia-mafia sawit, tambang dan pangan menjadi alarm bagi para mafia yang selama ini menikmati kekayaan alam Indonesia.
Bahkan Prabowo me-warning para jenderal dari TNI dan polisi agar tidak menjadi beking berbagai pertambangan ilegal yang mengeruk kekayaan alam. Hal ini disampaikan Prabowo dalam pidato kenegaraan di Gedung DPR pada 16 Agustus 2025.
Pasca kerusuhan Agustus 2025, Prabowo dan publik semakin sadar bahwa perlawanan para mafia dan oligarki itu nyata adanya. Bahkan mungkin kini Prabowo sedang dikepung oleh kelompok ini dan menekan Presiden agar tidak melanjutkan kebijakannya. Prabowo sendiri menyebutnya ada upaya mengarah ke makar dan tindakan terorisme.
Namun di sisi lain, kemarahan rakyat atas kondisi ekonomi adalah kenyataan yang harus diakui. PHK massal dan pengangguran, harga-harga yang mahal, dan ketidakpastian hidup harus segera diselesaikan Prabowo. Karena itulah akar masalahnya saat ini. Api dalam sekam masih menyala.
“Lebih baik Pak Prabowo mengakui kondisi ekonomi sedang tidak baik-baik saja. Lalu lakukan langkah nyata memberikan pekerjaan dan kepastian hidup bagi kelas menengah dan bawah yang saat ini sedang terhimpit,” kata ekonom Yanuar Rizky.
Jika Prabowo fokus menyelesaikan persoalan ekonomi berarti ia memadamkan api dalam sekam. Berpihak kepada rakyat. Kepungan mafia yang memanfaatkan rumput kering pun akan menemui jalan buntu.
Reporter: Rizal Maulana & Erobi Jawi Fahmi
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















