Tangerang, aktual.com – Sekretariat Jenderal MPR RI menggelar Dialog Kebangsaan MPR bertema “Rekonstruksi Konstitusi Menyongsong Indonesia Emas 2045: Peran Strategis MPR dalam Menjaga Ideologi Bangsa” di Kota Tangerang, Banten, Rabu (24/12/2025).
Forum ini menjadi ruang refleksi kritis atas arah reformasi konstitusi dan sistem politik nasional di tengah dinamika sosial yang terus berkembang.
Hadir dalam kegiatan tersebut Pakar Hukum Tata Negara Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., M.H. yang memberikan keynote speech, Pelaksana Tugas (Plt) Sekretaris Jenderal MPR RI Siti Fauziah, S.E., M.M., Kepala Biro Persidangan dan Pemasyarakatan Konstitusi Setjen MPR Wachid Nugroho, S.IP., M.IP., serta Direktur Jimly School of Law & Government Muh. Muslih, S.H., M.H.
Dialog Kebangsaan ini juga menghadirkan sejumlah narasumber, di antaranya Prof. Dr. Taufiqurrohman Syahuri, S.H., M.H., Prof. Dr. Wicipto Setiadi, S.H., M.H., dan Prof. Dr. Sunny Ummul Firdaus, S.H., M.H., dengan peserta berasal dari kalangan mahasiswa.
Dalam keterangannya di sela-sela acara, Jimly Asshiddiqie menilai dialog kebangsaan ini penting dilakukan meskipun bangsa Indonesia tengah disibukkan dengan berbagai persoalan, termasuk penanganan bencana di sejumlah daerah.
“Di tengah bangsa ini sibuk mengerahkan dukungan dan bantuan, khususnya ke beberapa provinsi di Sumatera yang sedang dilanda bencana, kita tetap tidak boleh mengabaikan agenda besar yang harus dipikirkan bersama,” ujar Jimly.
Menurut Jimly, salah satu agenda mendesak yang perlu mendapat perhatian serius adalah kaji ulang reformasi, termasuk evaluasi menyeluruh terhadap sistem ketatanegaraan Indonesia. Ia menyinggung aspirasi publik yang menguat dalam berbagai aksi mahasiswa beberapa waktu lalu, yang menyuarakan perlunya “reset Indonesia”.
“Bahkan ada kalangan aktivis yang menulis buku tentang reset Indonesia. Sayangnya, diskusi buku itu justru dibubarkan. Padahal, yang dimaksud reset itu bukan destruktif, tetapi menata ulang sistem politik, sosial, dan ekonomi kita agar lebih sehat,” kata Jimly.
Ia menilai berbagai peristiwa kerusuhan dan aksi kekerasan yang terjadi dalam rentang Agustus–September lalu mencerminkan akumulasi kemarahan dan kekecewaan publik terhadap sistem perwakilan formal dalam politik nasional.
“Yang dibakar bukan hanya kantor polisi, tetapi juga kantor DPRD, bahkan terjadi penjarahan rumah anggota DPR. Ini menunjukkan adanya sumbatan serius dalam saluran aspirasi rakyat. Sistem politik kita harus dikaji ulang,” ujarnya.
Tak hanya sistem politik, Ketua Komisi Percepatan Reformasi Polri ini, juga menyoroti lemahnya penegakan hukum sebagai sumber utama kemarahan publik. Menurut dia, kemarahan masyarakat terhadap aparat kepolisian sejatinya bukan soal keamanan, melainkan soal keadilan dalam penegakkan hukum.
“Polisi itu bagian dari sistem penegakan hukum. Karena mereka berada di garis depan, merekalah yang pertama dimarahi. Padahal persoalannya sampai ke hulu, termasuk dunia kehakiman. Semua ini butuh pembenahan dan penataan ulang,” tegas Jimly.
Ia menilai pembenahan tersebut harus dimulai dari evaluasi sistem konstitusi. Jimly pun mendorong agar Indonesia mulai serius membahas agenda perubahan kelima Undang-Undang Dasar 1945.
“Mulai tahun 2026 dan 2027 adalah momentum yang sangat menentukan. Tahun 2028 sudah terlalu dekat dengan tahun politik, sehingga pembahasan perubahan konstitusi akan sulit dilakukan,” kata mantan Ketua Mahkamah Konstitusi tersebut.
Jimly menekankan pentingnya peran MPR RI dan partai-partai politik dalam mendorong agenda penataan ulang sistem politik nasional. Ia mengingatkan agar elite politik tidak menutup ruang diskusi publik, termasuk gagasan-gagasan kritis yang muncul dari kalangan akademisi dan aktivis.
“Kita harus menggerakkan pikiran pimpinan partai politik untuk sungguh-sungguh melakukan tata ulang sistem politik. Jangan sampai diskusi ilmiah justru dilarang,” ujarnya.
Menurut Jimly, perubahan konstitusi nantinya akan berdampak luas pada regulasi di bawahnya, mulai dari undang-undang pemilu, undang-undang partai politik, hingga berbagai peraturan pelaksana lainnya.
“Jadi harus dimulai dari undang-undang dasarnya terlebih dahulu. Setelah itu baru undang-undang dan peraturannya disesuaikan. Kalau kita ingin Indonesia Emas 2045, fondasi konstitusinya harus kita benahi dari sekarang,” pungkas Jimly.
Dialog Kebangsaan MPR ini diharapkan menjadi salah satu langkah awal dalam memperkuat kesadaran kolektif akan pentingnya rekonstruksi konstitusi demi menjaga ideologi bangsa dan memperkokoh demokrasi Indonesia ke depan.
Artikel ini ditulis oleh:
Tino Oktaviano

















