Anggota Komisi X DPR RI, Habib Syarief Muhammad. Aktual/TINO OKTAVIANO

Jakarta, aktual.com Transformasi digital di sektor pendidikan kembali menjadi sorotan Anggota Komisi X DPR RI, Habib Syarief Muhammad. Ia menegaskan bahwa digitalisasi pembelajaran bukan lagi pilihan, melainkan keniscayaan di tengah derasnya arus perkembangan teknologi global.

Habib menilai, integrasi teknologi dalam dunia pendidikan tidak hanya meningkatkan kualitas pembelajaran, tetapi juga menjadi faktor kunci dalam menentukan daya saing Indonesia di kancah internasional. Ia menggambarkan bahwa masyarakat hari ini hidup sebagai warga dari sebuah “Kota Digital” (Digital Polis) — ruang luas berbasis jaringan data, algoritma, serta interaksi tanpa batas. Karena itu, pembangunan infrastruktur digital pendidikan dinilai semakin strategis.

“Langkah ini adalah investasi jangka panjang dalam Infrastruktur Kognitif Nasional, sebuah upaya memastikan setiap sekolah dapat mengakses perangkat modern demi pembelajaran yang lebih inovatif dan inklusif,” ujar Habib dalam keterangan tertulis yang diterima, Rabu (26/11/2025).

Sebagai anggota Badan Legislasi, Habib menekankan perlunya regulasi yang tidak hanya bersifat responsif, tetapi juga mampu menjadi panduan etika dan hukum bagi kehidupan digital masyarakat. Ia menawarkan tiga pilar transformatif:

1. Pengembangan “Digital Twin” untuk Keamanan Anak

Habib mengusulkan penciptaan Digital Twin—sebuah ruang virtual personal bagi anak—yang dilengkapi filter keamanan berbasis AI, sistem umpan balik etika, dan pengawasan adaptif. Konsep ini bukan sekadar pemblokiran konten, tetapi membangun habitat digital yang aman dan edukatif bagi generasi muda.

2. Pembentukan “Forum Fatwa Digital”

Habib juga mengusulkan pembentukan lembaga yang merumuskan panduan etis keagamaan dalam ruang siber. Melalui kolaborasi antara ulama, sosiolog, dan ahli teknologi, forum ini diharapkan mampu menghadirkan fatwa digital terkait perilaku daring, mulai dari ghibah, namimah, hingga perundungan siber.

3. Mandat “Hak Rehabilitasi Reputasi Digital”

Berbeda dari sekadar hak menghapus konten, usulan ini menitikberatkan pada pemulihan reputasi korban cyberbullying. Upayanya meliputi, prioritasi distribusi konten positif terkait korban, program digital storytelling dan Mekanisme hukum untuk menghapus atau membekukan jejak digital yang merugikan.

Habib menyebut gagasan ini sebagai bagian dari “arsitektur pemulihan identitas digital”.

Lebih jauh, Habib menegaskan bahwa digitalisasi pendidikan, seperti pengadaan smartboard, hanyalah salah satu komponen. Keberhasilan membangun Kota Digital Indonesia akan sangat ditentukan oleh kesiapan etika, hukum, serta empati yang mengiringinya.

“Kita adalah arsitek masa depan digital anak-anak bangsa. Kota digital yang canggih harus dibarengi dengan kota digital yang beradab,” tegasnya.

Namun, ia juga mengingatkan bahwa pesatnya perkembangan teknologi membawa potensi ancaman serius, khususnya cyberbullying. Ia menyebut fenomena ini sebagai “patologi spasial digital”, yakni kerusakan pada ruang publik digital yang semestinya menjadi ruang interaksi yang sehat.

Habib menilai media sosial—yang idealnya menjadi third place modern sebagaimana konsep Ray Oldenburg—tak jarang justru berubah menjadi arena dehumanisasi dan pengasingan bagi para korbannya.

Ia merujuk laporan Global Kids Online – LSE (2023) yang menyebut hampir 1 dari 4 remaja di Asia Tenggara pernah menjadi korban perundungan siber dalam setahun terakhir.

“Cyberbullying terbukti berkorelasi dengan menurunnya tingkat kebahagiaan dan meningkatnya risiko bunuh diri

Artikel ini ditulis oleh:

Tino Oktaviano