Berkaca di kasus yang sama, masih ingat ketika virus flu burung menyerang masyarakat Indonesia pada tahun 2005 lalu dan menewaskan satu keluarga di Tangerang? Ya, keluarga yang meninggal itu disebut terkena virus flu burung. Memang sejarah penyebaran flu burung di muka bumi sebenarnya sudah dimulai sejak lama.
Tercatat pandemi pertama kali terjadi di Spanyol terjadi tahun 1918-1919, ketika itu telah menelan korban sebanyak 40 juta orang dengan jenis virus H1N1. Kemudian yang kedua di Hongkong tahun 1957-1958, sebanyak 1-4 juta orang meninggal dengan jenis virus H2N2. Tahun 1968-1969 di Hongkong juga terjadi pandemi ketiga yang menyebabkan satu juta orang meninggal dengan jenis virus H3N2.
Kasus infeksi virus H5N1 pada manusia yang pertama kali tercatat, terjadi di Hongkong pada tahun 1997, ketika itu virus H5N1 yang menyebabkan penyakit pernafasan sangat berat tersebut menyerang 18 orang, enam di antaranya meninggal. Virus ini kemudian bisa dikendalikan dan kasus infeksi pada manusia lenyap tanpa dapat terdeteksi selama beberapa tahun.
Lama tenggelam, kemudian muncul di kawasan Asia pada tahun 2003 silam. Sejak saat itu, virus tersebut kembali terdeteksi di banyak negara serta menyebabkan penyakit. Bahkan tingginya tingkat kematian pada jutaan unggas. Ketik aitu, lebih dari 140 orang dinyatakan meninggal karena penyakit ini.
Sementara, di Indonesia kasus pertama virus flu burung (Avian Influenza-AI) terjangkit pada manusia ditemukan pada pertengahan tahun 2005. Ketika itu, penentuan diagnosis Indonesia diwajibkan mengirim sampel virus ke WHO Collaborating Center di Hongkong. Hal itu berlangsung hingga Agustus 2006.
Tetapi tanpa sepengetahuan Indonesia, sampel virus tersebut diberikan ke perusahaan pembuat vaksin di negara maju lainnya. Sejak itu pula, Menkes memutuskan untuk memeriksa spesimen flu burung cukup dilakukan dua laboratorium di dalam negeri yakni Laboratorium Badan Litbangkes dan Laboratorium Eijkman. Ini sejalan dengan kemampuan yang dimiliki laboratorium Indonesia untuk memeriksa virus H5N1, yang terbukti selama kurang lebih 1 tahun hasilnya selalu sama dengan laboratorium AI di Hongkong.
Meski begitu, Indonesia tetap membuka akses bagi para peneliti dunia dengan menempatkan data AI pada Gen Bank (public domain). Demi kepentingan umat manusia, pemerintah Indonesia pun menyatakan bahwa data genom pada virus flu burung bisa diakses semua orang, tegas Menkes saat itu. Berbekal dari pengalaman itulah, Menkes Siti Fadilah tergerak hatinya untuk mengubah sistem virus sharing yang sangat merugikan negara berkembang ini, dengan sitem yang lebih transparan, adil dan setara.
Ide Siti Fadilah pun terus diperjuangkan menjadi usulan Indonesia pada Sidang Majelis Kesehatan Dunia (WHO) di Jenewa Swiss. Diakhir sidang, usulan Indonesia disepakati dan disahkan menjadi Resolusi WHA yang harus dipatuhi semua negara anggota.
Perjuangan itu, kemudian membuat Menkes mewujudkan ke sebuah buku berjudul “Saatnya Dunia Berubah!” Tangan Tuhan di Balik Virus Flu Burung. Dalam bukunya itu diceritakan bagaimana Siti Fadilah mulai tertarik ke dalam lingkaran pergulatan pertukaran virus, sehingga maju menghadapi berbagai intrik dan tantangan yang berkaitan dengan pertukaran virus H5N1.
Alhasil, ketidakadilan mekanisme pertukaran virus yang telah berjalan selama 50 tahun silam itu pun terkuak. Siti Fadilan ketika itu telah menemukan negara-negara yang menyumbangkan virusnya tidak dapat meminta hasil penelitian, dan tidak dapat mengetahui apa yang terjadi dengan virus yang dikirimkannya.
Atas hal itu, Siti Fadilah pun memperjuangkan hak memperoleh perlindungan dari ancaman virus bagi rakyat Indonesia. Siti Fadilah, ketika itu menuntut perombakan sistem kesehatan dunia di bawah WHO. Apalagi, Siti Fadilah menyebut, kemunculan vaksin palsu bagian dari strategi asing dalam menjalankan assymetrical war atau perang asimetris di Indonesia.
Kata-kata Siti Fadilah ketika itu pun benar adanya. Saat ini berduyun-duyun rumah sakit asing telah menyerbu Indonesia, setelah beberapa rumah sakit di Indonedia dituduh menyediakan vaksin palsu.
“Masyarakat dibuat tidak percaya lagi. Sebentar lagi akan ada jargon “makanya belilah vaksin impor”. Inilah kelengahan kita sebagai bangsa, kenapa mendiamkan kapitalisme global dengan mekanime pasar bebasnya dianut dalam politik ekinomi kita secara menyeluruh,” kata Siti Fadilah ketika itu.
Bahkan, ketika itu Siti Fadilah menyuarakan agar berbagai lembaga kesehatan tidak boleh masuk ke mekanisme pasar bebas, karena nyawalah taruhannya. “Menangislah berteriaklah tapi sudah tidak ada gunanya kecuali kita hadapi untuk anak cucu kita kembalilah kita kepada guidance kita pancasila dan “UUD 45 asli” untuk mengatur negara ini. Anda-Anda semua sedang berperang dengan assymetrical war menghancurkan NKRI,” kata Siti Fadilah.
Siti Fadilah pun ketika itu menyebut, menteri yang hanya menurut peraturan-peraturan internasional tanpa melihat kebutuhan rakyatnya sesuai preambule UUD 45 asli hanya akan memposisikan rakyatnya sebagai korban assymetrical war yang sekarang sudah mulai.
Baca selanjutnya…
Sikap Siti Fadilah Bikin Gerah WHO