Jakarta, Aktual.com — Suasana duka terlihat di Pondok Pesantren Darus Sunnah, Ciputat, Tangerang Selatan, Kamis (28/04) pagi. Tampak para santri merasa kehilangan sosok sang pimpinan Pondok Pesantren Prof Dr KH Ali Mustofa Ya’qub, yang mana Almarhum telah banyak mengajarkan ilmu-ilmu yang sangat bermanfaat baik di dunia maupun di akhirat.
Istri Alm KH Ali, Ulfah Uswatun Chasanah mengenang sosok suaminya yang paling berharga yaitu Pondok Pesantren tersebut. Dan, Ulfah juga bertekad akan meneruskan perjuangan mendiang suaminya dalam mengelola Pesantren Luhur Ilmu Hadis Darus Sunnah di Ciputat, Tangerang Selatan.
“Saya akan melanjutkan perjuangan Beliau, dalam mengurus Pondok Pesantren ini,” kenang Ulfah, kepada Aktual.com, sambil menitikkan air mata, di Tangerang, Kamis (28/04).
Tak hanya itu, para santri pun merasa terpukul atas kepergian sosok Alm KH Ali Mustofa.
“Saya kaget dan terasa sedih sekali, nggak nyangka aja kalau pak Kiai pergi secepat ini,” beber Farihin (23), salah satu Alumni Pondok Pesantren Darus Sunnah.
“Ada sebuah kalimat yang paling berkesan dari Beliau yaitu ‘Seandainya saya hidup pada zaman Rasulullah SAW, saya ingin menjadi pembantu Beliau’ itu yang sering Beliau ucapkan dan paling berkesan bagi saya,” katanya lagi.
“Akan tetapi, Beliau dulu semasa hidupnya sering berpesan kepada Mahasantri di sini. Kalau beliau sudah siap untuk menunggu dipanggil oleh Allah SWT,” ungkapnya.
Dan, Jenazah mantan Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia itu akan disemayamkan di komplek Pesantren Darussunah, yang bertepatan di depan rumahnya. Jenazah dijadwalkan dimakamkan selepas waktu salat zuhur, atau siang ini di kompleks Pesantren.
Diberitakan sebelumnya, Indonesia kehilangan Ahli Hadis setelah meninggalnya mantan Imam Besar Masjid Istiqlal Jakarta, KH Ali Mustafa Ya’qub, pada Kamis (28/04) pagi sekitar pukul 06.00 WIB.
Sekedar informasi, Prof Dr. KH. Ali Mustafa Yaqub, MA (lahir di Batang, Jawa Tengah, 2 Maret 1952; umur 64 tahun) adalah seorang Imam Besar Masjid Istiqlal. Cita-citanya untuk belajar di sekolah umum tidak terlaksana, karena setelah tamat SMP ia harus mengikuti arahan orang tuanya, belajar di Pesantren.
Maka dengan diantar ayahnya, di tahun 1966 ia mulai nyantri di Pondok Seblak Jombang sampai tingkat Tsanawiyah 1969. Kemudian ia nyantri lagi di Pesantren Tebuireng Jombang yang lokasinya hanya beberapa ratus meter saja dari Pondok Seblak.
Di samping belajar formal sampai Fakultas Syariah Universitas Hasyim Asy’ari, di Pesantren ini ia menekuni kitab-kitab kuning di bawah asuhan para Kiai sepuh, antara lain al-Marhum KH. Idris Kamali, al-Marhum KH. Adlan Ali, al-Marhum KH. Shobari dan al-Musnid KH. Syansuri Badawi. Di Pesantren ini ia mengajar Bahasa Arab, sampai awal 1976 silam.
Tahun 1976 ia menuntut ilmu lagi di Fakultas Syariah Universitas Islam Imam Muhammad bin Saud, Riyadh, Arab Saudi, hingga tamat dengan mendapatkan ijazah license, 1980. Kemudian masih di kota yang sama ia melanjutkan lagi di Universitas King Saud, Jurusan Tafsir dan Hadis, sampai tamat dengan memperoleh ijazah Master, 1985.
Tahun itu juga ia pulang ke tanah air dan kini mengajar di Institut Ilmu al-Quran (IIQ), Institut Studi Ilmu al-Quran (ISIQ/PTIQ), Pengajian Tinggi Islam Masjid Istiqlal, Pendidikan Kader Ulama (PKU) MUI, Sekolah Tinggi Ilmu Dakwah (STIDA) al-Hamidiyah, dan IAIN Syarif Hidayatullah, Tahun 1989, bersama keluarganya ia mendirikan Pesantren “Darus-Salam” di desa kelahirannya.
Mantan Ketua Umum Perhimpunan Pelajar Indonesia (PPI) Riyadh yang aktif menulis ini, juga pernah menjadi Sekjen Pimpinan Pusat Ittihadul Muaballighin, Anggota Komisi Fatwa MUI Pusat, Ketua STIDA al-Hamidiyah Jakarta, dan sejak Ramadhan 1415 H/Februari 1995 ia diamanati untuk menjadi Pengasuh/Pelaksana Harian Pesantren al-Hamidiyah Depok, setelah pendirinya KH. Achmad Sjaichu wafat 4 Januari 1995. Terakhir ia didaulat oleh kawan-kawannya untuk menjadi Ketua Lembaga Pengkajian Hadis Indonesia (LepHi).
Artikel ini ditulis oleh: