Masalahnya lagi kemudian, kata dia, justru bank-bank BUMN malah dipkasa untuk mengucuri kredit infrastruktur itu dengan bunga tak lebih dari 7 persen. Hal ini tentu saja akan menjadi risiko baru.

“Seharusnya bunga kredit (bank BUMN) juga disesuaikan dengan harga pasar atau sesuai dengan bunga pembiayaan proyek infrastruktur atau konstruksi pada umumnya,” jelasnya.

Pasalnya, kata Eko, jika terlalu ditekan jauh lebih rendah, maka berpotensi menurunkan kesehatan perbankan.

Lebih jauh Eko juga mengkritisi rencana sekuritisasi aset BUMN dalam rangka menggenjot pembiayaan infrastruktur tersebut. Sekuritisasi aset BUMN, ujarnya, sejauh yang disekuritisasi itu adalah pendapatan atas aset BUMN tersebut, mungkin tak masalah.

“Jadi misal membangun jalan tol, maka pendapatan atas jalan tol tersebut yang disekuritisasi untuk kemudian diperjualbelikan. Jika modelnya begini tidak masalah. Jadi bukan asetnya yang diperjualbelikan,” tegasnya.

Namun demikian, dia mengingatkan tetap harus hati-hati, karena risiko tetap ada.

“Makanya, harus mempertimbangkan kemampuan BUMN dalam mengelola hasil sekuritisasi ini secara good governance,” terang Eko.

(Busthomi)

Artikel ini ditulis oleh:

Eka