“Dana itu seharusnya adalah untuk digunakan bagi  penanaman kembali, peningkatan sumber daya manusia, peningkatan sarana dan prasarana, promosi dan advokasi, pungutan itu adalah US$50 per satu ton minyak sawit untuk kebutuhan ekspor. Pada pertengahan 2016, dana pungutan mencapai sekitar Rp5,6 triliun dan ditargetkan mencapai Rp10 triliun pada akhir 2017.”

Tri mengatakan, ada 11 perusahaan yang memperoleh dana perkebunan tersebut untuk program biofuel periode Agustus 2015-April 2016 yang harus segera di audit oleh BPK dan KPK terkait pengunaan dana BPDP untuk subsisdi industri biodiesel mereka.

Perusahaan itu adalah PT Wilmar Bionergi Indonesia, PT Wilmar Nabati Indonesia, Musim Mas, PT Eterindo Wahanatama, PT Anugerahinti Gemanusa, PT Darmex Biofuels, PT Pelita Agung Agrindustri, PT Primanusa Palma Energi, PT Ciliandra Perkasa, PT Cemerlang Energi Perkasa, dan PT Energi Baharu Lestari.

Bukti akibat peyelewengan dana pungutan ekspor oleh BPDP salah satunya yakni mengakibatkan promosi terkait Perkebunan sawit Indonesia diluar negeri tidak dilakukan, sehingga menyebabkan pandangan yang salah tentang Industri sawit Indonesia di Uni Eropa dan hasilnya parlemen eropah melarang masuk produk sawit Indonesia ke Uni Eropa.

“Kita juga mendesak mendesak KPK untuk mengaudit investigatif terkait pengunaan dana yang menyalahi UU Perkebunan dan peraturan dibawahnya.”

Kemudian, dia juga meminta cabut Perpres 61/2015 tentang penghimpunan dan pemanfaatan dana perkebunan kelapa sawit berupa pungutan ekspor CPO, karena diduga adanya korupsi trilyunan serta hanya akal akalan perusahan perkebunan sawit milik konglomerat dan milik asing yang memproduksi industri biodiesel.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Wisnu