Jakarta, Aktual.com – Head of Agreement ( HoA – Kesepakatan Pokok ) dari divestasi 51% saham PT Freeport Indonesia (PTFI) telah ditanda tangani. Ini hasil negosiasi yang sangat panjang , 1,5 tahun , karena memang PTFI sangat bandel . Negosiasi inipun dilakukan setelah PTFI ” dikepret” oleh Dr Rizal Ramli Menko Maritim pada Oktober 2015 karena Sudirman Said Menteri ESDM waktu itu mengirimkan surat ke PTFI yang isinya memberi sinyal akan memperpanjang kontrak PTFI tanpa ada usaha untuk memperbaiki Kontrak Karya yang selama ini sangat merugikan Indonesia dengan royalti yang rendah , pengrusakan lingkungan dan pajak yang rendah karena hanya ekspor konsentrat dsb.
Presiden Jokowi membutuhkan waktu cukup lama untuk akhirnya membatalkan tindakan kearah perpanjangan kontrak PTFI tanpa perbaikan kontraknya . Bahkan akhirnya Presiden Jokowi memerintahkan Jonan , Menteri ESDM berikutnya untuk bernegosiasi dengan PTFI terutama dalam hal merubah Kontrak Karya menjadi Ijin Usaha Pertambangan Khusus ( IUPK ) , harus bangun smelter ( sudah ada perintahnya sejak KK 1991,UU Minerba 4/2009 ) yang selama ini diabaikan oleh PTFI ( sudah diabaikan selama 27 tahun ) , memperbaiki pajak , royalti , retribusi dsb. , dan memperbaiki lingkungan hidup .
HoA sudah ditanda tangani , sudah ada konperensi pers , tetapi belum ada transparansi . Keterangan resmi mengenai isi HoA itu sendiri belum disiarkan ke publik . Rencana tahapan dan waktu pencapaian ( time frame ) dari divestasi 51% itu sendiri belum diumumkan . Bahkan yang paling penting masih sangat belum jelas bagaimana kontraknya nanti . Apakah dengan divestasi 51% itu Pemerintah Insonesia melalui PT Inalum menjadi pengendali atau yang mengendalikan PTFI tetap pihak Freeport Mc Moran ?
Pertanyaan ini bukan meng-ada-ada , karena cerita dari teman yang mengalaminya sendiri , benar benar terjadi di Exxon Cepu ( Pertamina EP Cepu ) saham pihak Indonesia melalui PT Pertamina dan BUMD 55% namun pengendaliannya tetap Exxon Mobil . Baik mengendalikan manajemen , SDM maupun dari segi teknisnya . Ini karena detai kontraknya ( Joint Operation Agreement ) dibuat seperti itu . Disinilah permainan birokrasi didalam penyusunan kontrak . Padahal di-mana mana kalau saham mayoritas pasti menjadi pengendali Perusahaan.
Kontrak kerjasama yang buruk bisa juga menjadi penyebab betapa buruknya dan betapa merugikannya performance di sektor minyak kita yang produksinya turun tetap recovery naik terus.
Karena itu dalam kontrak kerjasama di PTFI setelah divestasi 51% harus jelas sekali bahwa pengendalian perusahaan adalah PT Inalum sebagai pemegang mandat dari pemerintah Indonesia . Untuk menjamin terlaksananya hal itu maka semua prosesnya harus transparan.
Oleh: Abdulrachim K – Analis (mantan Staf Khusus Kemenko Kemaritiman)
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta