Jakarta, Aktual.com – Penyusunan Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL) sangat mempengaruhi porsi bauran energi primer. Sedangkan PLN mengancam akan mengurangi porsi bauran gas jika tidak mendapat DMO gas layaknya seperti DMO batubara. Hal ini yang menjadi perpecahan di tubuh kementerian ESDM, mengingat kebijakan itu sarat kepentingan baik dari pengusaha pembangkit, pertambangan batubara serta industri migas.
Tuntutan DMO, PLN Ancam Kurangi Bauran Gas
PT Perusahaan Listrik Negara (PLN Persero) diketahui telah mengusulkan kepada Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) dan Satuan Kerja Khusus Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) agar pemerintah membatasi harga jual gas pada PLN atau domestic market obligation (DMO) sebagaimana berlaku pada Batubara.
Alasannya, harga gas dinilai akan terus bergerak naik sehingga akan berakibat kerugian bagi PLN yang menggunakan gas sebagai energi primer bagi pembangkit. Adapun pembatasan harga gas yang diusulkan PLN yakni sebesar USD 6,5 per mmbtu untuk di Pulau Jawa, dan USD 7 per mmbtu untuk di luar Pulau Jawa.
Direktur Pengadaan Strategis PLN Supangkat Iwan Santoso mengatakan dasar usulannya mengacu kepada Peraturan Pemerintah No. 79/2014 yang menetapkan empat energi primer untuk pembangkit ketenagalistrikan, yaitu, batubara, gas, air, dan panas bumi memberikan perlakuan khusus bagi PLN.
“Sekarang perlakuan khusus sudah dimulai dengan DMO batubara. Nah, untuk gas juga sedang kami upayakan. Kami meminta agar dibatasi maksimal USD 6,5 per mmbtu untuk Jawa kalau di luar Jawa USD 7 per mmbtu, supaya penggunaan masuk dan keekonomian masuk dan affordable,” kata Iwan.
Perlu diketahui, dari pembangkit listrik milik PLN yang beroperasi saat ini, penggunaan gas mencapai 25%. Untuk itu, tuntutan PLN agar pemerintah menetapkan DMO gas bukan hanya permohonan biasa, namun juga disertai ‘ancaman’ pengurangan porsi bauran gas melalui revisi Rencana Usaha Penyediaan Tenaga Listrik (RUPTL), jika permohonan tersebut tidak diakomodir.
Direktur Utama PLN Sofyan Basir menuturkan, jika harga gas tinggi bisa memicu kenaikan tarif listrik. Apalagi gas saat ini digunakan saat beban puncak.
“Kalau semua menggunakan gas kan tarif harus naik. Ke depan itu peaker-nya diganti air, Pembangkit listrik panas bumi, karena jauh lebih murah,” tutur Sofyan.
Selanjutnya…
Suara Kementerian ESDM Tidak Bulat
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta