Jakarta, Aktual.com – Pengamat kebijakan publik dari Rumah Reformasi Kebijakan Riant Nugroho menilai kebijakan berbagi spektrum sebagaimana tertuang dalam UU Cipta Kerja harus dioptimalkan agar mendukung transformasi digital di Tanah Air.

“Karena keterbatasan spektrum frekuensi radio untuk 5G, makanya UU Cipta Kerja membuka spectrum sharing terbatas untuk penerapan teknologi baru. Seluruh sumber daya frekuensi yang ada harus dioptimalkan untuk mendukung penerapan teknologi baru guna mendukung transformasi digital,” ujar Riant dalam keterangan di Jakarta, Sabtu (26/12).

Menurut Riant, semangat di UU Cipta Kerja harus diturunkan secara lurus dan sinkron ke Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) Postelsiar yang sekarang ini sedang dibahas.

Riant menyoroti adanya pengaturan di RPP Postelsiar yang membatasi cakupan berbagi spektrum untuk penerapan teknologi baru.

Ia menilai, Pasal 49 ayat 1 seharusnya juga membolehkan spectrum sharing untuk penerapan teknologi baru yang dilakukan di seluruh wilayah layanan dan seluruh pita yang tercantum di izin pita frekuensi radio (IPFR).

“Kerja sama spektrum frekuensi radio ini kan untuk penerapan 5G. Kalau tidak boleh di seluruh wilayah dan di seluruh pita IPFR, maka skala keekonomisan tidak akan tercapai. Yang dapat menikmati layanan 5G hanya masyarakat di sebagian wilayah. Dan, yang harus diingat 5G itu memerlukan investasi yang besar. Kalau seperti ini, dapat dipastikan penggelaran 5G tidak akan optimal,” kata Riant.

Melihat hal tersebut, mantan anggota Komite Regulasi Telekomunikasi-Badan Regulasi Telekomunikasi Indonesia (KRT-BRTI) meminta pemerintah sebagai regulator tidak bisa menggunakan pendekatan lama dalam alokasi spektrum frekuensi radio.

Riant berkeyakinan ketika pemerintah berbicara tentang 5G, maka pola alokasi spektrum frekuensi yang digunakan pun pasti berbeda dengan apa yang diterapkan untuk 4G.

“Kebutuhan 5G itu 100 MHz contiguous, ya tidak mungkin dialokasikan 10-20 MHz per operator, kemudian disuruh operator atur sendiri sesama mereka. Saya yakin pemerintah tidak akan mengambil kebijakan tersebut karena itu bukan kebijakan publik yang tepat,” ujar Riant.

Menurut Riant, alokasi spektrum frekuensi untuk 5G harus berupa pita yang lebar mendekati 100 MHz untuk satu operator. Operator yang mendapat alokasi spektrum frekuensi adalah mereka yang betul-betul memiliki kemampuan menggelar infrastruktur 5G.

Konsekuensinya tentu hanya ada satu atau beberapa operator saja yang mendapatkan alokasi spektrum 5G. Operator lain yang tidak mendapatkan alokasi pita spektrum frekuensi dapat bekerja sama secara wholesale dengan operator yang mendapatkan alokasi spektrum frekuensi 5G.

Tentunya, lanjut Riant, kerja sama tersebut dapat dilakukan di seluruh wilayah layanan dan di seluruh pita dalam IPFR. Skema seperti itu sudah diadopsi di Singapura.

“Penerapan 5G sebagai teknologi baru harus efisien. Saya fikir tidak semua operator akan dapat alokasi spektrum frekuensi 5G. Seperti di Singapura, operator yang mendapatkan alokasi spektrum frekuensi 5G dapat membuka kerja sama wholesale dengan operator lain yang tidak mendapatkan alokasi spektrum. Kebijakan tersebut perlu rasanya kita pertimbangkan,” kata Riant.

Dengan adanya UU Cipta Kerja, pemerintah sudah memberikan ‘lampu hijau’ untuk kerjasama penggunaan spektrum radio pada teknologi baru.

Sebelumnya, Director & Chief Technology Officer XL Axiata I Gede Darmayusa mengakui ketersediaan frekuensi dan regulasi masih menjadi tantangan dalam menggelar jaringan 5G.

Menurut Gede, teknologi generasi ke-5 tersebut memiliki karakteristik berbeda dengan 4G. Teknologi 5G membutuhkan investasi yang besar dan ‘haus’ akan bandwidth, sehingga XL mulai memikirkan untuk dilakukannya spectrum sharing untuk teknologi baru.

Antara

Artikel ini ditulis oleh:

As'ad Syamsul Abidin