Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI) Ismanu Soemiran mengungkapkan besaran cukai itu dasar ketetapannya dari APBN. Idealnya, rokok naik linier dengan inflasi, pertumbuhan dan faktor lain. Setiap kenaikan di luar pertimbangan tersebut membuat beban industri nasional hasil tembakau (IHT) menjadi naik, hal ini berdampak kontra produksi.
“Faktor lain itu yang sulit diprediksikan. Sebab, ini bersifat kebijakan atas dasar kebutuhan keuangan Negara,” jelasnya.
Mengenai penurunan penerimaan cukai di kuartal I, dikatakan Ismanu, lebih diakibatkan oleh kondisi perlambatan secara umum di hampir semua sektor usaha. Faktor lain, disebabkan oleh masih berlakunya Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 20/PMK.04/2015 tentang Penundaan Pembayaran Cukai untuk Pengusaha Pabrik atau Importir Barang Kena Cukai yang Melaksanakan Pelunasan Dengan Cara Pelekatan Pita Cukai.
Terkait rencana Kementerian Keuangan akan menyederhanakan layer menjadi sembilan layer, dari 12 layer, dalam penetapan tarif cukai rokok, ditegaskan Ismanu, IHT di Indonesia itu sangat heterogen. Setiap pengurangan (penyederhanaan) layer akan membawa korban. Korban ini sangat relatif, tergantung layer yang mana yang disederhanakan.
“Bahwa, IHT itu memiliki 3 lapis kelas, yakni besar, menengah, dan kecil. Sementara, pola pasar IHT adalah “pasar kanibalisme”, dimana setiap ada korban pabrik, bisa menyehatkan pabrik yang lain,” terangnya.
Artikel ini ditulis oleh:
Eka
















