Jakarta, Aktual.com — Ada yang berbeda setiap kali isu redenominasi rupiah kembali mengemuka di ruang-ruang kebijakan ekonomi nasional. Ia selalu datang dengan paket campuran: harapan besar, kekhawatiran publik, dan bayangan kegagalan masa lalu.
Seperti hantu kebijakan yang tak pernah benar-benar tidur, wacana pengurangan tiga angka nol pada rupiah kembali masuk ke Prolegnas 2025–2029, dan kembali pula menuai pertanyaan: sudah saatnya, atau belum?
Menteri Keuangan Purbaya Yudhi Sadewa berbicara hati-hati ketika isu itu ditodongkan kepadanya. Nada suaranya datar, tapi menegaskan satu hal: kementeriannya bukan eksekutor utama.
“Redenominasi itu bukan wewenang Kementerian Keuangan. Nanti Bank Indonesia yang akan menyelenggarakannya,” ujar Purbaya.
Baca juga: Menko Perekonomian Akui Redenominasi Rupiah Berpotensi Picu Kenaikan Inflasi
Meski begitu, fakta bahwa rancangan PMK 70/2025 sudah masuk daftar legislasi membuat wacana ini terasa lebih konkret dari sebelumnya. Namun konkret bukan berarti dekat. Pemerintah tampak ingin menyiapkan rumahnya dulu, sebelum memutuskan kapan harus ditempati.
Jejak Panjang dari 1965: Luka Lama yang Belum Hilang
Indonesia pernah sekali mencoba penyederhanaan rupiah—dan gagal. Pada 1965, Presiden Soekarno mengubah Rp1.000 menjadi Rp1. Namun percobaan itu dilakukan saat negeri sedang bergolak: inflasi ratusan persen, krisis pangan, serta turbulensi politik pasca-G30S. Hasilnya, redenominasi hanya menjadi catatan sejarah yang pahit.
Kegagalan itu bukan cuma masalah teknis. Ia meninggalkan trauma kolektif. Bagi sebagian masyarakat, “pengurangan angka nol” terdengar mirip sanering—kebijakan pemotongan nilai uang yang membuat tabungan rakyat menguap.
Dan trauma itu, kata peneliti Celios, Nailul Huda, masih hidup sampai sekarang.
“Kalau tidak dijelaskan dengan baik, masyarakat bisa mengira nilai uang mereka turun. Ini yang paling berbahaya,” ujarnya.
Pemerintah Bergerak, tapi Pelan — “Bukan Urgensi”
Di DPR, Ketua Komisi XI Muhammad Misbakhun mengakui bahwa redenominasi memang disiapkan, tetapi bukan prioritas.
“Redenominasi ini sudah lama masuk long list Prolegnas. Belum menjadi prioritas karena syaratnya banyak.”
Misbakhun menyebut satu per satu prasyarat: inflasi harus rendah, pertumbuhan harus stabil, politik harus tenang. Plus: kesiapan sosial masyarakat. Kebijakan dengan efek psikologis begitu besar tak bisa dijalankan ketika situasi ekonomi masih rentan.
Baca juga: DPR Sebut Redenominasi Rupiah Masih sekadar Wacana, BI Fokus Atasi Masalah Ekonomi
Menariknya, ia memaparkan standar negara lain: butuh sekitar tiga tahun masa transisi, mulai dari legislasi, sosialisasi publik, hingga pembaruan seluruh sistem pembayaran.
“Masyarakat perlu dibiasakan. Harga seribu jadi satu, itu bukan hal kecil.”
Tantangan Teknis Redominasi
Salah satu tahapan tersulit redominasi bukanlah politik, melainkan teknologi. Peneliti Great Institute, Adrian Nalendra Perwira, mengungkapkan bahwa tantangan sesungguhnya ada pada update sistem perbankan dan pembayaran.
“Setiap ATM, EDC, aplikasi mobile banking, payment gateway—semua harus diubah. Serentak. Luka sedikit saja bisa bikin chaos.”
Ia menilai bank besar sudah siap. Tapi UMKM? Jutaan warung kecil? Sistem pembukuan toko kelontong? Inilah titik rawan.
Adrian menyebut tiga indikator sebelum redenominasi benar-benar boleh jalan: “Stabilitas inflasi dan nilai tukar.”
Bayang bayang Caos dan Psikologi
Mayoritas masyarakat paham beda antara redenominasi dan sanering. Jika salah satu gagal, risiko chaos meningkat. Dampak Psikologis: “Uang 5 Juta Jadi 5 Ribu” Dari seluruh tantangan, faktor psikologis adalah yang paling menentukan.
“Gaji Rp5 juta jadi Rp5 ribu itu tidak mengubah daya beli. Tapi mengubah persepsi. Dan persepsi bisa mengubah perilaku ekonomi,” kata Adrian.
Baca juga: Menkeu Serahkan Penerapan Redenominasi Rupiah ke BI, Pelaksanaan Masih Menunggu Waktu Tepat
Fenomena money illusion ini benar terjadi di berbagai negara. Ketika angka mengecil, orang merasa lebih miskin atau lebih kaya — tergantung cara ia memandang angka.
Dalam konteks Indonesia, masyarakat sudah puluhan tahun terbiasa dengan angka nol berderet. Perubahan radikal tanpa edukasi bisa memicu: Panic buying, pembulatan harga besar-besaran dan inflasi dari sektor informal.
Hal itu menimbulkan tanya. Apakah Layak? Para Ekonom Serempak Menjawab: “Ya… Tapi Nanti.”
Jika dilihat dari efisiensinya, redenominasi punya banyak manfaat: transaksi lebih cepat, laporan anggaran lebih rapi, sistem akuntansi lebih sederhana, gengsi rupiah meningkat. Tetapi semua manfaat itu hanya berlaku jika dieksekusi pada saat yang tepat.
“Ini langkah yang rasional, tapi bukan prioritas hari ini. Prioritasnya menjaga stabilitas ekonomi dulu,” kata Adrian.
Baca juga: Airlangga Ungkap Redenominasi Rupiah Belum Dibahas
Sementara Nailul Huda menegaskan, kebijakan ini bukan sekadar simbol.
“Jika dilakukan dengan benar, redenominasi meningkatkan kredibilitas rupiah di mata internasional.”
Arah ke Depan: Jalan Panjang Menuju “Rupiah Baru”
Dari rangkaian wawancara, satu gambaran besar terlihat jelas: Semua pihak setuju redenominasi bermanfaat — tetapi tidak ada yang ingin buru-buru.
Bank Indonesia memegang kunci. Pemerintah menyiapkan regulasi. DPR membuka pintu dengan syarat stabilitas nasional terjaga. Ekonom memperingatkan soal psikologi publik. Dan UMKM menjadi titik paling rentan.
Jika semua prasyarat dipenuhi, redenominasi bukan hanya menghapus tiga angka nol. Ia bisa menjadi simbol kepercayaan diri ekonomi Indonesia.
Tapi jika dipaksakan? Kita berisiko mengulang luka 1965. Rupiah mungkin akan kehilangan nol—tetapi jangan sampai kehilangan kepercayaan.
Penulis: (Nur Aida Nasution)
Artikel ini ditulis oleh:
Eka Permadhi

















