Tahun 2025 menandai babak baru bagi diplomasi Indonesia. Dua peristiwa besar, yaitu bergabungnya Indonesia ke dalam BRICS dan kehadiran Presiden Prabowo Subianto di parade militer China 3 September 2025. Hal ini mencerminkan pergeseran orbit geopolitik yang semakin nyata.
Masuknya Indonesia sebagai anggota penuh BRICS pada Januari 2025 merupakan langkah strategis sekaligus berani. Dengan BRICS, Indonesia mendapatkan peluang besar berupa akses ke New Development Bank untuk membiayai proyek infrastruktur dan energi, diversifikasi pasar ekspor ke negara-negara Selatan Global, hingga peningkatan daya tawar dalam forum internasional.
Namun, keuntungan itu datang bersama risiko. Amerika Serikat menanggapi dengan menaikkan tarif hingga 32% untuk produk Indonesia, bahkan menambahkan 10% tambahan khusus bagi anggota BRICS.
Tekstil, alas kaki, dan elektronik yang menjadi sektor padat karya andalan ekspor, berpotensi tercekik tarif kumulatif hingga 42%. Untuk meredamnya, Prabowo mengutus Menko Perekonomian Airlangga Hartarto meneken paket dagang US$34 miliar di Washington. Langkah ini menunjukkan Jakarta masih berusaha menjaga keseimbangan agar tidak kehilangan pijakan di pasar Barat.
Sementara itu, kehadiran Prabowo di parade militer China pada 3 September 2025 menambah bobot simbolis pergeseran orbit tersebut. Berbeda dengan 2015, kali ini Presiden Indonesia berdiri di podium kehormatan bersama Xi Jinping.
China memanfaatkan momen ini untuk menunjukkan bahwa Asia Tenggara, termasuk Indonesia, semakin dekat ke orbit Beijing. Bagi Jakarta, kesempatan ini membuka pintu investasi Belt and Road Initiative, goodwill diplomatik, dan penguatan posisi di ASEAN.
Namun di mata Barat, kehadiran Indonesia di barisan bersama Rusia dan negara-negara pro-Moskow menimbulkan kewaspadaan, apakah Jakarta mulai meninggalkan orbit lama (barat)?
Dua momen itu menegaskan dilema klasik diplomasi bebas-aktif Indonesia, memetik manfaat dari BRICS dan kedekatan dengan China, tanpa mengorbankan hubungan dengan Barat. Namun keseimbangan ini semakin rapuh ketika tekanan ekonomi AS makin keras dan stigma geopolitik kian menempel.
Indonesia kini berada di persimpangan strategis. Jika terlalu condong ke BRICS, risiko tekanan Barat makin besar. Jika terlalu berhati-hati dengan Barat, peluang yang ditawarkan Global South bisa terlewat.
Tantangannya adalah memastikan pergeseran orbit ini tidak berubah menjadi ketergantungan baru, melainkan memperkuat posisi Indonesia sebagai penyeimbang di dunia multipolar.
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto

















