Sementara secara terpisah kami juga meminta pendapat ahli pidana dari Universitas Kristen Indonesia, Prof Dr Mompang L Panggabean SH .M.Hum, beliau menyatakan pendapat nya dalam kasus seperti Budiman Tiang dalam wawancara dengan media, menyangkut Due Proccess of law”
Due Process of Law dalam sistem peradilan pidana lahir dari Magna Carta (1215) di Inggris sebagai simbol perjuangan melawan kekuasaan sewenang-wenang, agar Raja mengakui Habeas Corpus (hak asasi manusia) untuk mendapatkan proses hukum yang adil berdasarkan hukum yang berlaku. Inti dari due process of law adalah perlindungan terhadap kebebasan warga negara dengan standar yang reasonableness yang sesuai dengan konstitusi negara, yang oleh Dicey disebut “The rule of law not of man.” Dalam Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik (1966) juga diatur tentang due process of law yang memuat prinsip keadilan dan keseimbangan.
Due process of law untuk menguji apakah negara telah menghilangkan kehidupan, kebebasan dan hak milik tersangka tanpa prosedur dan apabila menggunakan prosedur apakah sudah sesuai due process of law? Asumsi dasar yang dibangun di dalam penerapan due process of law ialah rule of law, equality before the law dan presumption of innocence yang meliputi unsur-unsur: pemberitahuan kepada seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka, hak untuk didengar demi membela dan melindungi hak-haknya terhadap dugaan adanya tindak pidana terhadap dirinya, hak untuk memperoleh bantuan hukum, hak untuk membela diri, dan hak yang berkaitan dengan pembuktian atas dugaan tindak pidana yang ia lakukan serta peradilan jujur dan tidak memihak. Apabila unsur-unsur due process of law tersebut dilanggar, maka hal itu merupakan penyimpangan terhadap due process of law yang pada gilirannya menimbulkan pelanggaran terhadap hak asasi manusia.
Seseorang ditetapkan sebagai tersangka dalam suatu perkara pidana sesuai Pasal 1 butir 14 KUHAP, menunjukkan bahwa ia patut diduga sebagai pelaku tindak pidana karena perbuatannya atau keadaannya, yang mengandung esensi pertama, diduga adanya tindak pidana (actus reus) dan kedua, ada pelaku (mens rea). Dalam kaitan dengan ketentuan hukum pidana materiil, penetapan tersangka dimaksudkan apakah telah terpenuhi unsur-unsur tindak pidana dan siapa yang dapat diminta pertanggungjawaban pidana sesuai hukum pidana formal.
Pembuktian dalam suatu perkara pidana harus dilakukan berdasarkan minimal dua alat bukti sesuai sistem pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia yakni Negatief Wettelijk Bewijs Theorie (minimum dua alat bukti yang sah ditambah keyakinan hakim). Hal itu patut mengindahkan politik hukum pidana yang dihasilkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014 dimana tentang alat bukti bahwa frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup” dan “bukti yang cukup” bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai adalah minimum dua alat bukti yang termuat dalam Pasal 184 KUHAP. Selain kecukupan alat bukti dari sisi kuantitas dan sisi kualitas, masih perlu dilakukan cross examination antara keterangan seseorang yang diduga Tersangka atau saksi a de charge atau ahli yang diajukan seseorang yang diduga Tersangka, sebagaimana diamanatkan dalam Putusan MK No. 65/PUU-VIII/2010.
Akhir-akhir ini timbul perkembangan dalam penanganan perkara pidana berupa keadilan restoratif (restorative justice) yang diatur dalam Perkap No. 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana Berdasarkan Keadilan Restoratif, bahwa penyelesaian tindak pidana dengan mengedepankan keadilan restoratif yang menekankan pemulihan kembali pada keadaan semula dan keseimbangan perlindungan dan kepentingan korban dan pelaku tindak pidana yang tidak berorientasi pada pemidanaan merupakan suatu kebutuhan hukum masyarakat, dengan mengakomodasi norma dan nilai yang berlaku dalam masyarakat sebagai solusi sekaligus memberikan kepastian hukum terutama kemanfaatan dan rasa keadilan masyarakat. Hal itu ditunjang oleh Perkap No. 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana yang di dalam Pasal 12 menyatakan bahwa dalam proses penyidikan dapat dilakukan keadilan restoratif dengan mengacu pada syarat materiil dan syarat formil. Di antara syarat materiil antara lain bahwa tidak menimbulkan keresahan dan/atau penolakan dari masyarakat, tidak berdampak konflik sosial, bukan tindak pidana terorisme, tindak pidana terhadap keamanan negara, tindak pidana korupsi dan tindak pidana terhadap nyawa orang. Demikian Prof Mompang lebih lanjut kepada media.
















