Jakarta, Aktual.com – Gedung itu menjulang anggun di jantung ibu kota, berdiri bersih dengan jargon “mendorong ekspor nasional”. Namanya LPEI, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia. Sebuah badan yang, meski berada di bawah Kementerian Keuangan, bekerja dengan semangat perbankan: menyalurkan dana, memberi pinjaman, dan menanggung risiko, semua atas nama membantu ekspor.
Tapi seperti pepatah tua, tak semua yang tampak megah di luar menjanjikan isi yang bersih di dalam.
Dalam beberapa bulan terakhir, nama LPEI berubah dari simbol dukungan negara menjadi pusat perhatian publik akibat dugaan skandal dugaan korupsi yang melibatkan triliunan rupiah dana negara. Bukan satu, melainkan dua lembaga penegak hukum—KPK dan Polri—turun tangan. Dan skala kasus ini lebih dari sekadar angka. Ini adalah cermin bagaimana kelembagaan yang kabur bisa membuka ruang bagi penyimpangan yang masif.
Dari Penjamin Jadi Pemain
LPEI dilahirkan untuk menjadi tulang punggung ekspor nasional. Ia bukan bank. Tapi ia diberi kewenangan untuk bertindak layaknya bank pembangunan: memberikan pembiayaan ke perusahaan yang ingin melebarkan sayap ke luar negeri. Di situlah jebakan mulai terbuka, karena dalam posisi menggenggam miliaran, bahkan triliunan rupiah, kekuasaan menjadi terlalu besar untuk tak disalahgunakan.
Menurut penyelidikan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), dalam kurun waktu beberapa tahun, LPEI menyalurkan pembiayaan ke 11 debitur yang secara sistem tidak layak mendapatkan dukungan. Nama-nama besar pun ikut terseret. Beberapa di antaranya berada langsung dalam struktur LPEI: dua eks direktur pelaksana. Tiga lainnya merupakan petinggi dari PT Petro Energy, perusahaan yang disebut sebagai penerima manfaat utama.
“Fasilitas pembiayaan ini diberikan tanpa analisa risiko yang layak, tanpa pengawasan penggunaan dana, dan akhirnya digunakan tidak sesuai peruntukan,” ungkap Budi Sukmo Wibowo, Plh Direktur Penyidikan KPK.
Kerugian negara? Tidak tanggung-tanggung: Rp 11,7 triliun.
Polri Bergerak di Jalur Lain
Di sisi lain, Kortas Tipidkor Polri membuka penyidikan atas kasus serupa, tapi di jalur yang berbeda. Dua nama perusahaan yang diselidiki: PT Duta Sarana Technology (DST) dan PT Maxima Inti Finance (MIF). Modusnya sama, pembiayaan diberikan, namun dana digunakan untuk transaksi internal yang berujung pada kredit macet dan pencucian uang.
“Kami menemukan pola penyalahgunaan pembiayaan ekspor yang menyebabkan kerugian negara hingga USD 43,6 juta, atau sekitar Rp 712 miliar,” ujar Irjen Cahyono Wibowo, Kepala Kortas Tipidkor Polri.
Kejadian ini membuka mata bahwa penyimpangan di LPEI bukan insiden tunggal, tapi berulang. Polri menyatakan penyidikan masih berkembang dan belum menetapkan tersangka. Namun, sinyal sudah jelas: ini sistem yang cacat, bukan hanya kasus yang salah.
Sistem yang Longgar, Uang yang Hilang
Pakar keuangan publik telah lama mengingatkan bahwa posisi LPEI berada di wilayah abu-abu. Ia bukan bank konvensional, tapi juga bukan lembaga pemerintah biasa yang tunduk penuh pada regulasi APBN. Di situlah masalah utama, pengawasan longgar, kewenangan besar, dan ruang kebijakan luas.
Sehingga, LPEI terlalu kuat untuk diawasi sebagai lembaga keuangan biasa, tapi terlalu bebas karena statusnya bukan BUMN atau bank komersial.
Dampak yang Tak Terlihat Tapi Dalam
Di atas kertas, skandal ini bisa terlihat seperti angka belaka, triliunan rupiah, nama-nama asing, entitas hukum yang rumit. Tapi bagi publik, ini lebih dari itu.
Uang yang hilang dari pembiayaan fiktif ini adalah uang rakyat, uang yang seharusnya digunakan untuk membangun jalan di desa, memperbaiki sekolah, menyubsidi pupuk, atau memperkuat layanan kesehatan. Skandal ini merampas bukan hanya angka di laporan keuangan negara, tetapi masa depan sosial dari masyarakat yang tak pernah menyentuh bangunan megah LPEI itu.
Antara Harapan dan Trauma
KPK sudah menetapkan lima tersangka. Polri sedang membangun konstruksi kasus sendiri. Namun, publik tahu bahwa kasus korupsi tak hanya soal siapa yang ditangkap, tapi juga apa yang berubah setelah itu.
LPEI menjadi studi kasus bagaimana sebuah lembaga strategis negara bisa melenceng ketika tata kelola tidak berjalan, ketika kontrol melemah, dan ketika pengawasan tidak melekat. Ini bukan hanya cerita tentang lembaga, tapi tentang sistem yang membiarkan praktik itu tumbuh hingga membusuk.
Pertanyaannya kini: Apakah negara belajar? Atau akan membiarkan bangkai lama ditutupi cat baru?
“Kami tidak hanya mencari orang, kami sedang membongkar pola,” tegas Irjen Cahyono Wibowo.
“Karena korupsi seperti ini bukan dimulai dari niat buruk, tapi dari sistem yang dibiarkan tanpa penjaga,” Cahyono menambahkan.
Apakah Negara Belajar?
Kasus LPEI adalah alarm keras bahwa korupsi tidak hanya berada di tempat yang bising. Kadang, ia tumbuh di ruang ber-AC, di balik janji kebijakan yang terdengar manis. Tapi publik tak lagi bisa dibohongi dengan jargon. Mereka ingin bukti.
Kasus LPEI membuka luka yang lebih dalam dari sekadar angka kerugian triliunan rupiah. Ia menunjukkan bagaimana sebuah lembaga negara yang diberi mandat strategis dapat berubah menjadi ladang penyalahgunaan kekuasaan ketika sistem pengawasan longgar dan akuntabilitas dikesampingkan.
Kini, KPK dan Polri tengah bekerja di dua jalur yang berbeda namun menuju titik yang sama, mengurai simpul korupsi di lembaga yang semestinya mendukung ekspor nasional.
Namun publik tahu, menyelesaikan kasus ini bukan sekadar menahan tersangka dan menghitung kerugian negara. Lebih dari itu, ini soal keberanian membongkar jaringan, memperbaiki celah sistemik, dan membangun ulang tata kelola lembaga strategis negara.
Dan, dalam proses itu, satu pertanyaan masih menggantung di benak masyarakat: Apakah negara benar-benar belajar, atau kita hanya sedang menunggu lembaga berikutnya yang akan jatuh karena pola yang sama?
Artikel ini ditulis oleh:
Andry Haryanto






















