Ketua Umum Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Muhammad Isnur (kiri), Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Galau D. Muhammad (tengah) dan Kepala Perencanaan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Tubagus Soleh Ahmad (kanan) saat diskusi aktual forum bertajuk “Evaluasi Setahun Prabowo-Gibran: Menakar Kebijakan Ekonomi, Hukum, Politik, dan Lingkungan” yang diselenggarakan oleh aktual.com, di Café Hartaka, Tebet, Jakarta Selatan, Sabtu (25/10). Aktual/TINO OKTAVIANO

Jakarta, aktual.com – Wacana perampingan Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kembali menjadi sorotan publik. Gagasan ini dipandang sebagai salah satu langkah strategis untuk mendorong efisiensi dan memperkuat nilai jangka panjang perusahaan-perusahaan pelat merah.

Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios), Galau D Muhammad, menilai konsolidasi memang dibutuhkan mengingat portofolio BUMN saat ini sudah terlalu tersebar dan menimbulkan berbagai ketidakefisienan. Meski demikian, ia menekankan bahwa persoalan utama tidak berhenti pada jumlah entitas yang hendak dipangkas.

Menurutnya, sekadar mengurangi jumlah perusahaan dari 1000 menjadi 200 tidak akan menyelesaikan akar masalah yang sebenarnya. “Yang jauh lebih penting adalah memastikan governance reform, jadi perbaikan tata kelola, adanya transparansi secara aliran keuangan, serta pembatasan intervensi politik dalam keputusan BUMN,” ujar Galau.

Ia menjelaskan bahwa pembenahan tata kelola justru menjadi fondasi yang harus diperkuat terlebih dahulu. Setiap BUMN, kata dia, perlu memiliki proses internal yang lebih prudent agar tidak berulang kali tersandung persoalan.

Jika konsolidasi hanya difokuskan pada merger, maka persoalan mendasar justru akan tetap muncul. Kasus dugaan proyek fiktif yang menyeret PT Pembangunan Perumahan (PP) menjadi contoh nyata.

Galau menyebut akar persoalannya terletak pada lemahnya mekanisme internal, disiplin kerja, serta pengawasan yang tidak berjalan secara optimal. Kondisi tersebut diperburuk oleh kualitas audit yang dinilai belum memadai, serta budaya kepatuhan hukum yang sering dimanipulasi.

Ia menegaskan bahwa munculnya moral hazard di beberapa BUMN, baik yang memiliki portofolio jelas maupun yang terlibat proyek fiktif, telah memperburuk citra perusahaan negara. “Jadi ini kan memperlemah reputasi daripada BUMN secara keseluruhan,” jelasnya.

Dengan situasi yang semakin kompleks, ia menilai reformasi berbasis manajemen risiko perlu segera dilakukan. Pemerintah harus memetakan BUMN yang memiliki prospek cerah dan yang terindikasi memiliki potensi krisis ke depan.

Pemetaan ini juga harus dibarengi dengan penguatan independensi perusahaan, termasuk penghentian praktik bagi-bagi kursi komisaris. Menurutnya, BUMN harus diberi ruang untuk beroperasi secara profesional tanpa intervensi politik.

Galau juga menilai dampak kasus PT PP cukup besar bagi dunia usaha, terutama bagi lembaga keuangan dan pemegang obligasi. “Signal efeknya tidak kecil kalau kita lihat bagaimana investor terutama lembaga keuangan dan mereka yang memiliki obligasi itu juga merespon dengan sangat jauh,” katanya.

Ia menjelaskan bahwa ketika BUMN konstruksi seperti PT PP menghadapi utang jatuh tempo yang besar sementara arus kasnya negatif, efeknya langsung terasa pada ekosistem bisnis. Keterlambatan pembayaran proyek pemerintah memicu rantai permasalahan baru di sektor konstruksi maupun industri pendukung lainnya.

“Ini bukan hanya tentang kerugian nominal, tapi secara ekosistem bisnis yang terlibat, berkaitan dengan sektor-sektor yang menghadapi berbagai penyimpangan, itu juga akan mengalami adanya tekanan investor yang sangat signifikan,” tambahnya.

Galau menambahkan bahwa pemerintahan baru harus fokus pada perbaikan tata kelola agar BUMN tidak terus terbebani berbagai program pemerintah yang tidak selaras dengan mandat bisnis perusahaan. “Jadi mindset-nya harus berubah. Sekarang Pak Prabowo ingin Indonesia menjadi Cina, tapi progres industri di Cina itu sama sekali tidak mencampur-adukkan antara intervensi politik di ranah ekonomi dan bisnis,” tutupnya.

Kinerja PT PP sendiri tengah menghadapi tekanan. Sepanjang sembilan bulan pertama 2025, laba bersih PTPP turun drastis menjadi Rp 5,55 miliar, anjlok 97,92% dari periode yang sama tahun lalu.

Penurunan ini dipicu merosotnya pendapatan menjadi Rp 10,73 triliun per September 2025, turun 23,33% dari tahun sebelumnya. Corporate Secretary PTPP, Joko Raharjo, mengatakan pendapatan kuartal III 2025 baru mencapai 61,81% dari target RKAP.

“Hal ini karena pemasaran yang ditargetkan belum tercapai sehingga penjualan dari proyek baru belum maksimal, serta adanya efisiensi pada proyek carry over sehingga burning tidak sesuai RKAP,” ujarnya, beberapa waktu lalu.

Nilai kontrak baru yang dikantongi PTPP pada kuartal III 2025 mencapai Rp 16,88 triliun, namun pencapaian itu tetap lebih rendah dibanding tahun lalu. Di saat bersamaan, perusahaan kembali digugat pailit oleh sejumlah subkontraktor.

PT Atap Perkasa menagih utang Rp 4,03 miliar, sementara CV Citra Pratama menggugat Rp 6 miliar terkait utang KSO PP-Urban. Gugatan pailit terhadap PT PP bukan yang pertama.

Pada September 2025, PT Stahlindo Jaya Perkasa dan PT Sinar Baja Prima juga mengajukan permohonan serupa dengan nilai masing-masing Rp 1,9 miliar dan Rp 1,04 miliar. Keduanya merupakan subkontraktor untuk proyek struktur baja Museum Kawasan Cagar Budaya Nasional Muarajambi..

Artikel ini ditulis oleh:

Rizky Zulkarnain