Jakarta, Aktual.com- Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia Bidang Kebijakan Fiskal dan Publik Suryadi Sasmita menilai ekonomi Indonesia masih jadi salah satu yang terbaik meski belum bisa kembali sepenuhnya seperti sebelum pandemi.
“Pertumbuhan ekonomi kita sangat baik dibandingkan negara lain, meski kita lihat secara ekonomi makro masih belum bisa kembali seperti sedia kala,” katanya dalam webinar “Prospek Pemulihan Eonomi Indonesia di Tengah Perubahan Geopolitik Pasca Pandemi” yang dipantau di Jakarta, Rabu (3/8).
Suryadi menjelaskan pertumbuhan ekonomi Indonesia yang pada triwulan I 2022 mencapai 5,01 persen yoy itu masih jauh lebih tinggi dari beberapa negara seperti China yang hanya tumbuh 4,8 persen. Begitu pula Singapura yang hanya tumbuh 3,4 persen, Korea Selatan 3,07 persen, AS 4,29 persen dan Jerman hanya 4 persen.
“Jadi kita ini yang terbaik di antara beberapa negara. Ini akan sampai akhir tahun pun akan tetap masih, bahkan mencapai di atas 5 persen,” katanya.
Indikator lain yaitu dari sisi realisasi pajak yang melewati target pada 2021 lalu. Ia juga memaparkan realisasi pendapatan negara 2021 mencapai Rp2.003 triliun atau 114,9 persen dari target APBN 2021.
“Pertengahan tahun (pendapatan pajak) sudah lewati target, sampai akhir tahun kita berprinsip bahwa penerimaan pajak pasti akan tercapai,” imbuhnya.
Suryadi juga menilai Indonesia juga memiliki keuntungan sebagai salah satu pemasok lima komoditas dunia, yakni batu bara, bauksit, timah, minyak sawit dan nikel.
“Ini kita punya pegangan tahun ini dan tahun depan, lima komoditas ini melonjaknya cukup baik sehingga masih bisa mempertahankan cadangan devisa kita,” katanya.
Dari sisi inflasi, menurut Suryadi, dengan menguatnya cadangan devisa, maka nilai tukar rupiah terhadap dolar AS masih bisa dipertahankan di level Rp15 ribu per dolar AS.
“Jadi meski The Fed menaikkan suku bunga, tidak berdampak terlalu berat ke Indonesia. Kita masih bisa mempertahankan sekitar Rp15 ribu karena cadangan devisa kita kuat,” katanya.
Di sisi lain, kepemilikan asing terhadap surat berharga negara (SBN) atau obligasi pun kini terus menurun. Tadinya obligasi dikuasai asing hingga sekitar 40 persen tapi kini angkanya turun di 17-19 persen saja.
“Bahkan mungkin bisa turun lagi 15 persen sehingga ini semua bisa di-cover dari masyarakat kita. Artinya, kita mempunyai kekuatan dalam negeri. Perekonomian kita kuat sehingga kita bisa menggantikan dolar dari masyarakat kita dan perbankan sendiri,” pungkas Suryadi.
Artikel ini ditulis oleh:
Arie Saputra