Jakarta, Aktual.com – Ibarat pepatah “Jauh Panggang dari Api” begitulah kondisi ekonomi Indonesia selama era Presiden Jokowi dalam empat tahun terakhir ini. Janji manis yang ia dengungkan saat kampanye Pilpres 2014 lalu, yang menargetkan pertumbuhan ekonomi akan mencapai 7%, ternyata sampai saat ini hanya stagnan di kisaran 5%-an.
Apa yang salah dari perencanaan yang sudah dibuat oleh pemerintah, padahal sudah dikeluarkan sampai 16 Paket Kebijakan Ekonomi? Wajar jika kemudian menjelang Pilpres 2019 ini, Jokowi terus dikritik oleh pesaingnya Prabowo Subianto yang sempat menyebutkan 99% penduduk Indonesia hidup pas-pasan, kemiskinan naik 50% dalam lima tahun terakhir. Bahkan saking tingginya kemiskinan rakyat Indonesia, Prabowo menyebutkan dengan istilah “Tampang Boyolali”.
Salahkah pernyataan Prabowo tersebut? Jika memang kemiskinan masih tinggi, pertumbuhan ekonomi masih stagnan (walaupun BPS mengeluarkan data bahwa kemiskinan saat ini menurun di bawah angka 10% karena standar hidup per kapita di bawah Rp500.000 per kapita), maka apakah pantas Jokowi disebut telah sukses menunaikan janjinya?
Sebagai informasi, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, pada kuartal IV 2015 pertumbuhan ekonomi sebesar 5,15 persen. Sementara saat ini, di kuartal III 2018 hanya sebesar 5,17 persen (Pertumbuhan ekonomi ini lebih rendah jika dibandingkan dengan pertumbuhan ekonomi pada kuartal II 2018 sebesar 5,27 persen). Berarti dalam empat tahun terakhir, perekonomian Indonesia hanya stagnan berkutat di angka tersebut.
Menurut Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Kecuk Suhariyanto mengatakan, pertumbuhan ekonomi kuartal III 2018 dipengaruhi oleh beberapa hal. Pertama, harga komoditas nonmigas yang menurun.
“Harga komoditas nonmigas mengalami penurunan. Migasnya naik, nonmigas menurun. Misal terjadi penurunan untuk beberapa komoditas pertanian seperti daging sapi, minyak sawit, kopi, teh menurun baik qtq atau yoy,” ujar Suhariyanto di Kantor BPS.
Menteri PPN sekaligus Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro menjelaskan stagnannya pertumbuhan ekonomi Indonesia faktor utamanya disebabkan karena daya produktivitas Indonesia yang sangat rendah. Terutama, disebabkan karena tidak signifikannya transformasi struktural yang tercermin dari kapabilitas tenaga kerja.
“Lebih dari 30 persen tenaga kerja kita di sektor agrikultur,” ujar dia dalam dalam keynote speech yang dibacakan oleh Staf Ahlinya, Bambang Priyambodo di Universitas Indonesia, Depok, Senin (12/11/2018).
Akibat hal itu, lanjut dia, selama 40 tahun lebih hingga saat ini ekspor Indonesia terus didominasi oleh produk-produk komoditas yang produktivitasnya tidak secepat industri manufaktur. Karena buruknya kinerja tersebut, memiliki dampak yang jelas terhadap kinerja perdagangan internasional Indonesia.
“Pada 1970-an, Malaysia dan Thailand juga mengandalkan komoditas dalam ekspor mereka. Namun, sekarang, bagian terbesar dari ekspor mereka adalah elektronik yang dikerjakan oleh blue color,” katanya.
Bambang menilai, buruknya transformasi struktural tersebut lebih disebabkan oleh tiga hal, yaitu investasi di sektor infrastruktur yang masih rendah, investasi di sektor permesinan dan equipment maupun investasi asing yang jauh tertinggal dari negara-negara lain, serta minimnya investasi di human capital.
“Tumpang tindih peraturan dan hambatan birokrasi, kualitas sumber daya manusia dan produktivitas tenaga kerja yang rendah, Infrastruktur yang tidak memadai, intermediation keuangan yang rendah dan pasar keuangan yang dangkal, hingga pendapatan pajak yang rendah dan kualitas pengeluaran,” tegasnya.
Bank Dunia: Jika Harga Beras Naik 10%, Maka Munculkan Orang Miskin Baru