Kebijakan Fiskal: Aman, Kredibel dan Sehat

Menteri Keuangan Sri Mulyani mengungkapkan neraca APBN dalam Kondisi Aman, Kredibel dan Sehat. Hal tersebut terlihat dari defisit APBN menurun setiap tahun, dari 2,3% terhadap PDB tahun 2014 menuju kisaran 2,1% tahun 2018 (outlook). Bahkan dalam RAPBN 2019, Pemerintah mengusulkan defisit dibawah 2% terhadap PDB. Kemudian, defisit keseimbangan primer diturunkan hingga mendekati Rp0 pada tahun 2019. Trend penurunan tersebut terjadi sejak tahun 2014 yaitu dari Rp93,3 triliun (0,92% terhadap PDB) menjadi Rp64,8 triliun (0,44% terhadap PDB).

“Penurunan defisit keseimbangan primer menunjukkan kemampuan membayar bunga utang dari sumber pendapatan negara (pajak dan PNBP) meningkat,” jelasnya.

Kontribusi penerimaan perpajakan meningkat signifikan dari 74% dari total pendapatan negara pada tahun 2014 menjadi kisaran 81% di tahun 2018. Pertumbuhan pembiayaan utang juga semakin menurun, dalam tahun 2018 pembiayaan utang tumbuh negatif 9,7% dibandingkan di tahun 2014 yang tumbuh positif 14,6%. Kondisi tersebut diikuti dengan penurunan penerbitan SBN (netto), dan tumbuh negatif 12,2% dalam tahun 2018. Hal ini jauh lebih rendah dari pertumbuhan penerbitan SBN (netto) tahun 2014 sebesar positif 17,8%.

Indikator Makro Ekonomi RAPBN 2019
Indikator Makro Ekonomi RAPBN 2019

Untuk perkembangan Penerimaan Pajak Hingga 2018, kemenkeu telah melaksanakan tiga kebijakan penting seperti amnesti pajak pada 2016 – 2017. Kemudian UU Akses Informasi Keuangan pada 2017. Melalui UU Akses Informasi Keuangan, DJP telah mendapat akses terhadap informasi rekening keuangan domestik maupun luar negeri yang merupakan instrumen penting dalam meningkatkan kepatuhan pajak.

Pajak sumber pendapatan negara (Paparan Menkeu,Dok FMB9)
Pajak sumber pendapatan negara (Paparan Menkeu,Dok FMB9)

“Ketiga, melakukan reformasi perpajakan mulai 2016 – 2022. Pemerintah telah melaksanakan program pembaruan sistem administrasi perpajakan yang akan membenahi semua aspek utama di DJP mulai dari modernisasi sistem informasi dan proses bisnis hingga organisasi dan SDM serta kebijakan dan regulasi,” terangnya.

Hasil dari berbagai proses pembenahan tersebut mulai terlihat pada tahun 2017, realisasi penerimaan perpajakan (di luar hasil Amnesti Pajak) tumbuh 12,7% dibandingkan tahun 2016. Realisasi penerimaan perpajakan termasuk penerimaan kepabeanan dan cukai. Pada tahun 2018, pertumbuhan penerimaan perpajakan s.d. September 2018 (yoy) adalah sebesar 16,5 % (total) atau 18,1% (diluar tax amnesty).

“Dari kombinasi kebijakan dan realisasi 2018 (s.d. September) di atas, diperkirakan akan terjadi pembalikan trend, sehingga untuk pertama kalinya sejak tahun 2014, tax ratio diharapkan bergerak naik dari 10,7% pada tahun 2017 menjadi 11 ,6% pada tahun 2018, dan pada 2019 diperkirakan mencapai 12,1%,” terangnya.

Selain itu, Menkeu mengungkapkan Utang Pemerintah dikelola untuk Sektor Produktif dalam rangka mendukung pembangunan di sektor infrastruktur, pendidikan, dan kesehatan. Total alokasi anggaran untuk ketiga sektor ini telah meningkat.

“Infrastruktur meningkat dari Rp157,4 T (2014) menjadi Rp410,4T (2018); di antaranya termasuk melalui Transfer ke Daerah dan Dana Desa (TKDD) sebesar Rp14,4 T (2014) menjadi Rp184,1 T (2018). Sektor Pendidikan meningkat dari Rp353,4 T (2014) menjadi Rp444,1 T (2018); di antaranya termasuk melalui TKDD sebesar Rp230,5 T (2014) menjadi Rp279,5 T (2018). Sektor Kesehatan meningkat dari Rp59,7 T (2014) menjadi Rp111,0 T (2018); diantaranya termasuk melalui TKDD sebesar Rp4,2 T (2014) menjadi Rp29,5 T (2018),” jelasnya.

Selain itu, Pemerintah juga melakukan pengendalian utang dengan menjaga rasio utang dalam batas yang aman berada pada kisaran 30% terhadap PDB. Untuk menjaga stabilitas dan keseimbangan maka komposisi utang dalam negeri dan luar negeri juga dijaga dalam batas aman dan terkendali.

Utang produktif (Paparan Menkeu, Dok FMB9)
Utang produktif (Paparan Menkeu, Dok FMB9)

Terkait Realokasi Subsidi Energi untuk Belanja yang Lebih Produktif sejak tahun 2015 Pemerintah melakukan penataan komposisi belanja negara, yaitu pengurangan subsidi energi (yang cenderung dinikmati oleh masyarakat menengah ke atas) dan peningkatan anggaran perlindungan sosial yang produktif mengurangi kemiskinan.

“Subsidi energi dalam tahun 2014 mencapai Rp341,8 triliun, turun menjadi Rp119,1 triliun dalam tahun 2015 untuk selanjutnya dapat dijaga pada kisaran Rp100 triliun dalam pada tahun 2018 (APBN 2018 Rp94,5 triliun). Subsidi energi (BBM, LPG, dan Listrik) diarahkan agar lebih tepat sasaran untuk golongan masyarakat berpenghasilan rendah,” terangnya.

Di samping itu, anggaran perlindungan sosial terus meningkat dengan penguatan pada program-program yang berdampak signifikan terhadap  pengurangan kemiskinan, seperti Program Keluarga Harapan (PKH), Program Indonesia Pintar (PIP), Subsidi Pangan dan Subsidi bunga kredit program.

Next: Respon DPR

Artikel ini ditulis oleh:

Eka