Hingga kuartal III-2017, surat utang pemerintah dengan tenor 10 tahun rata-rata imbal hasilnya (yield) tinggi mencapai 6,5 persen. Diklaim dia, angka itu lebih rendah dari Brasil 9,79 persen, Afrika Selatan 8,37 persen, Turki 10,35 persen, India 6,53 persen. Namun dibanding negara tetangga, yield untuk tenor 10 tahun ternyata paling tinggal karena di Filipina cuma 4,57 persen, Malaysia 3,85 persen dan Thailand 2,25 persen.
Gemarnya pemerintah menerbitkan surat utang terus menerus jadi beban APBN. Apalagi utang yang banyak itu ternyata tak seluruhnya untuk pembangunan proyek infrastruktur. Menurut ekonom dari Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) Bhima Yudhistira Adhinegara, fakta yang terjadi dari utang-utang itu ternyata hanya di bawah 10% yang sudah terealisasi untuk pembiayaan infrastruktur.
“Saya bingung mengapa pemerintah harus ngutang lagi? Katanya untuk infrastruktur, tetapi faktanya baru terealisasi di bawah 10 persen,” ungkap Bhima ketika dihubungi. “Apalagi kemudian, penyerapan tenaga kerja dari infrastruktur juga belum optimal, dan tidak berpengaruh terhadap ekonomi dan industri pengolahan. Terakhir hanya 4,8 persen,” kata dia melanjutkan.
Terbaru, pemerintah kembali menarik utang baru di awal bulan ini yang mencapai US$ 5 miliar dollar atau sekitar Rp 54 triliun. Dan skemanya juga menggunakan prefunding. Utang yang menumpuk ini tentu mengkhawatirkan akan tambah membengkak, sementara proyek infrastruktur terus berjalan, namun uang tidak ada. Dan dampaknya tak ada ke perekonomian di Indonesia.
Bhima mengingatkan, agresifnya membangun infrastruktur, utang Indonesia akan melonjak lantaran adanya kenaikan belanja untuk bantuan sosial. Namun yang menjadi beban terberat dari utang itu adalah bertambahnya pembayaran bunga utang pada tahun depan.
Artikel ini ditulis oleh: