Jakarta, Aktual.com – Anggota DPR RI dari Fraksi PKS Adang Sudrajat menyoroti dampak rencana kenaikan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan yang dinilai bakal memiliki dampak signifikan terutama bagi pekerja bukan penerima upah.
“Pekerja bukan penerima upah adalah kelompok masyarakat yang paling rentan terhadap perubahan iklim usaha, tapi paling berjasa dalam memacu perekonomian,” kata Adang Sudrajat dalam keterangan tertulis di Jakarta, Kamis (10/10).
Menurut dia, golongan ini ditengarai yang paling banyak menunggak iuran BPJS, karena iklim usaha yang tidak kondusif.
Politisi PKS itu mengingatkan bahwa pekerja bukan penerima upah adalah mereka yang melakukan usaha ekonomi secara mandiri untuk memperoleh penghasilan dari kegiatan atau usahanya tersebut yang meliputi pemberi kerja.
Ia berpendapat bahwa kebijakan meletakkan BPJS sebagai satu-satunya penyelenggara JKN adalah keputusan politik yang gegabah karena menafikan kemampuan beberapa daerah yang memiliki keluangan finansial.
“Pemerintah terhadap BPJS ini seperti menganugerahkan kewenangan monopoli operasional pada badan yang belum terbukti kehandalannya,” katanya.
Terkait rencana kenaikan iuran BPJS Kesehatan, Adang menyatakan bahwa bila itu dinaikkan maka dampaknya akan sangat terasa bagi masyarakat ekonomi lemah.
Sebelumnya, Guru Besar dari Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia Profesor Budi Hidayat menyebutkan bahwa masyarakat harus memahami bahwa Jaminan Kesehatan Nasional yang diselenggarakan BPJS Kesehatan merupakan asuransi kesehatan sosial yang sifatnya wajib.
“JKN itu asuransi kesehatan sosial. Karakteristik utama asuransi kesehatan sosial adalah kepesertaan bersifat wajib,” kata Budi dalam diskusi mengenai JKN di Universitas Indonesia Depok, Kamis.
Dengan syarat utama program asuransi sosial yang wajib tersebut, prinsip yang dijalankan adalah gotong royong di mana yang kaya membantu yang miskin dan yang sehat membantu yang sakit.
Dengan syarat kepesertaan wajib tersebut, kata dia, wajar apabila terdapat sanksi jika kewajiban tersebut tidak dijalankan oleh masyarakat. Namun, Budi mengakui bahwa saat ini pemerintah belum memiliki regulasi yang kuat untuk menerapkan kebijakan mengenai sanksi tersebut.
“Saat ini memang wajib untuk semua penduduk. Masalahnya kita belum punya instrumen untuk mendaratkan kebijakan tersebut, karena ada kelompok dan sektor tertentu yang tidak bisa dibidik. Sektor informalnya tidak teroganisir,” katanya.
Menurut Budi, jaminan kesehatan sosial di negara-negara lain pun memiliki sanksi kepada pesertanya yang tidak membayar atau menunggak iuran. “Lazim saja karena ini produk wajib,” katanya.
Artikel ini ditulis oleh:
Antara
Arbie Marwan