Faisal Basri - Harga BBM jenis premium Pertamina lebih mahal dibandingkan dengan BBM jenis Pertamax Plus di Malaysia. (ilustrai/aktual.com)
Faisal Basri - Harga BBM jenis premium Pertamina lebih mahal dibandingkan dengan BBM jenis Pertamax Plus di Malaysia. (ilustrai/aktual.com)

Jakarta, Aktual.com – Mantan Ketua Tim Reformasi dan Tata Kelola Migas, Faisal Basri tidak habis pikir dengan kebijakan PT Pertamina yang mengabaikan fungsi layanan publik (PSO) dan mengedepankan aspek bisnis semata dengan mengambil untung diluar kewajaran pada masyarakat.

Berdasarkan keterangannya, saat ini Pertamina menjual BBM jenis Premium kepada masyarakat dengan harga jauh lebih mahal, bahkan sekalipun dibandingkan dengan BBM jenis Pertamax Plus di negara tetangga Malaysia.

Adapun pertamina menjual Premium dengan harga Rp 6500 sedangkan harga Pertamax Plus (yang jauh lebih baik dari kualitas Premium) di negara Malaysia hanya setara Rp 5900.

“Premiun di sini kan gila harganya, masa harga premium di Indonesia lebih mahal daripada harga Pertamax plus di Malaysia., yang benar aja. Harga Pertamax Plus di Malaysia cuma Rp 5900,harga Premium Rp 6500 di Indonesia,” tuturnya saat ditemui di kawasan Kebon Sirih Jakarta, Senin (26/9).

Jika ditinjau dari laporan keuangan Pertamina semester pertama 2016, di temukan keuntungan Pertamina terlampau besar dari penjualan BBM dari masyarakat. terungkap bahwa Pertamina meraih untung hingga USD 755 juta dari pelaksanaan PSO dan penugasan (kerosene, LPG 3 kg, solar dan premium non Jamali).

Rinciannya, keuntungan dari penjualan BBM PSO dan penugasan mencapai USD 637 juta atau sekitar Rp 8,3 triliun dan dari LPG 3 kg sebesar USD 117 juta atau sekitar Rp 1,5 triliun.

Dalam penjelasannya, Pertamina menyatakan bahwa laba usaha BBM PSO 449,9 persen lebih tinggi dibandingkan periode sama 2015. Tingginya kenaikan laba ini disebabkan oleh rendahnya biaya produk sejalan dengan penurunan harga MOPS (Mid Oils Platts Singapore) dan harga minyak mentah Indonesia (ICP) yang merupakan komponen pembentuk biaya produk.

Realisasi ICP di semester I-2016 hanya USD 36,16 per barel, jauh dibawah RKAP Pertamina sebesar USD 50 per barel. Maka dengan modal harga minyak yang rendah dan menjual BBM dan LPG subsidi di harga tinggi, Pertamina mampu mengantongi EBITDA sebesar USD 4,1 miliar, dengan EBITDA margin 23,9 persen atau 128 persen dari RKAP yang dirancang perusahaan. Sementara laba bersihnya mencapai USD 1,83 miliar, 113 persen lebih tinggi dari RKAP perseroan.

Laporan: Dadangsah Dapunta

Artikel ini ditulis oleh:

Andy Abdul Hamid