Jakarta, Aktual.com-Sebuah fakta mengkhawatirkan saat ditemukan angka 3,000 pelajar di Batam yang diketahui menyukai sesama jenis atau yang dikenal dengan LGBTI lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseks, angka tersebut bukan angka yang sedikit namun sebagai angka yang bisa dikatakan cukup besar.

Pertumbuhan kaum penyuka sesama jenis di Indonesia pada sepuluh tahun belakangan ini menunjukkan angka yang sangat mengejutkan bahkan dapat dikatakan jika perkembangan mereka cukup massif. Para kaum gay kini mulai berani menampakkan diri secara terang-terangan di muka publik. Mereka pun mulai berani mengatakan “Ini Lho Gw, Apa Urusan Lo. Dosa-Dosa Gw”.

Dahulu mereka sembunyi-sembunyi hanya berani menampakkan eksistensinya di komunitas mereka semata. Sebut saja diskotik atau club yang khusus untuk melayani kaum LGBT atau biasa disebut Ladies Night.

Atas kondisi diatas, mulai timbul pertanyaan mungkinkan perkembangan kaum mereka yang sebegitu massif sebagai bentuk dari kelainan jiwa atau mengidap kelainan gen yang dibawa sejak lahir?

Di Sumatera Barat, sendiri tercatat ada puluhan ribu laki-laki kini berorientasi seksual penyuka sesama jenis.

Lagi-lagi pertanyaan menggelitik pun muncul apakah perkembangan secara massif tersebut akibat penularan yang natural ? Pertanyaan ini ada lantaran terjadi secara serentak karena ribuan laki-laki secara bersamaan mengidap penyakit yang disebut bawaan sejak lahir?

Di Indonesia, menurut data Kemenkes tahun 2012, ditemukan sedikitnya 1,095,970 pria yang hidup dengan perilaku seks sesama pria. Ini angka lima tahun yang lalu. Hampir dipastikan di tahun ini angka pertumbuhan mereka pasti sudah bertambah ratusan ribu bahkan tidak mungkin mencapai angka jutaan. Bahkan diperkirakan angkanya mencapai sudah tiga persen dari total populasi Indonesia atau sekitar 7,000,000.

Atas uraian itu. Sangat tidak masuk akal kemudian disebutkan jika kaum laki di Indonesia yang mengalami penyakit disorientasi seksual penularannya secara alami?

Sejumlah teori pun mulai bermunculan untuk menjawab pertanyaan atas pertumbuhan angka kaum LGBTI di Indonesia yang begitu massif.

Apakah hal ini sebagai sebuah misi untuk mencapai target tertentu? Karena dicurigai ada pergerakan penyebaran dan pengrekrutan yang dilakukan secara besar-besaran dan terstruktur dan ini bukan cuma penyakit bawaan, melainkan gaya hidup kekinian.

Apakah pergerakan misi ini disokong dana internasional yang bertujuan untuk melegalkan keberadaan kaum gay dan perkawinan sejenis?Terlebih kecurigaan ini bertambah dengan kemunculan dua organisasi besar yang aktif melancarkan gerakan advokasi kepada kaum gay. Yakni Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-INA). Meski LSM ini tidak secara terang-terangan menyatakan sebagai pendukung kaum gay tetapi mereka diketahui memiliki jaringan dengan 119 organisasi yang pro terhadap kelompok gay, di Indonesia mereka bermitra dengan organisasi gay di 28 provinsi baik langsung maupun tak langsung.

Kedua, LGBTIQ Indonesia. Mereka yang tergabung pada organisasi LGBTIQ adalah Lesbian, Gay, Bisexual, Transgender, Intersex, Queer. Cakupan mereka lebih luas cakupannya sebagai organisasi dan gerakan internasional untuk perilaku seksual yang “MBoten Boten”.

Disinyalir gerakkan kaum LGBTI di Indonesia sangat kuat. Bahkan di tahun 2013 saja sempat menjadi isu besar, dimana Komnas HAM hampir saja memberikan pengakuan hak eksistensial kepada kaum gay saat Komnas menggelar rapat paripurna yang membicarakan soal pengakuan terhadap LGBTI.

Kembali ke masalah jumlah LGBTI di Indonesia. Kekuatan perekrutmen mereka sangguh luar biasa menurut data Kemenkes ada 83,184 desa dan kelurahan. Di 2012, jumlah gay 1,095,970. Dengan pertumbuhan 10% saja per tahun, ini menunjukkan jika pada hari ini sudah ada sekitar 1,500,000 gay. Itu berarti, di setiap desa atau kelurahan ada 18 orang gay. Ini jika jumlah tersebut dibagi rata.

Seorang pakar Prof.Dr. Sarlito Wirawan secara tegas menyebut jika pertumbuhan kaum LGBTI di Indonesia bukan lagi semata-mata sebagai bentuk gaya hidup, tapi sebuah harakah “Movement” untuk melegalkan keberadaan dan melegalkan perkawinan sejenis.

Dirinya bahkan telah melakukan penelitian sendiri dengan mengumpulkan beberapa kesaksian dari berbagai kampus tentang mahasiswa-mahasiswa normal yang kemudian dipenetrasi secara massif untuk terjerumus ke jurang LGBTI dan mereka kemudian tak bisa keluar lagi dari jurang tersebut.

Sarlito pun menyebut jika perilaku mereka sangat persis bak sebuah sekte, kultus atau gerakan-gerakan eksklusif lainnya : fanatik, eksklusif, penetratif dan indoktrinatif.

Alasan ini pun kata dia masuk akal karena yang menjadi target mereka pun tak main-main, yakni mendorong pranata hukum agar eksistensi mereka sah dan diakui secara legal, begitu juga halnya pernikahan sejenis.

Tentu saja pengakuan ini kata Sarlito pun membutuhkan syarat

Pertama, jumlahnya mesti signifikan secara statistik, sehingga layak untuk mengubah sebuah asumsi, taksonomi dan kategorisasi

Kedua, keberadaan kaum LBGT sudah memenuhi persyaratan populatif, sehingga kemudian layak disebut sebagai sebuah komunitas

Ketiga, perilakunya pun telah diterima secara normatif menurut persyaratan kesehatan mental dari WHO.

Sebagai pemenuhan syarat, kata Sarlito organisasi ini harus dapat menularkan penyimpangannya secara eksponensial kepada lingkungan masyarakat sekitarnya.

Bahkan mereka lanjut dia telah mempelajari hal itu dari keberhasilan “perjuangan” kaum LGBT di Amerika Serikat.

Atas pengalaman tersebut mereka sadar, pertumbuhan jumlah mereka hanya dapat dilakukan lewat penularan, mengingat mereka tak mungkin tumbuh lewat keturunan.

Mereka kata dia juga sadar, tanpa penularan mereka akan punah

Berdasarkan pengumpulan informasi dari kampus. Kenapa harus menyasar mahasiswa ?

Target sasaran mereka ada dua : Pertama, mahasiswa; dan yang kedua, institusi akademik.

Dengan alasan mahasiswa dicap sebagai generasi galau identitas dengan kebebasan tinggi dan tinggal di sejumlah tempat kost dilingkungan kampus

Sementara kata dia institusi akademik perguruan tinggi mereka butuhkan untuk menguatkan legitimasi ilmiah atas “kenormalan” mereka.

Kaum LGBT  bergerilya secara efektif, dengan dukungan payung HAM dan institusi internasional.

Semua agama tentu saja melarang perkawinan sesama jenis. Tapi atas nama demokrasi, mereka kaum LGBT tidak mengenal kitab suci. Kedekatan kaum LGBTI dengan materialisme dunia, telah menjauhkan mereka dari agama dan nilai-nilai luhur. Ditunjang lagi dengan perkembangan teknologi mereka dengan mudah menebarkan misi mereka.

Fakta mengejutkan juga didapat, Untuk mendukung komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseks (LGBTI), sebuah badan PBB, United Nations Development Programme (UNDP) menjalin kemitraan regional dengan Kedutaan Swedia di Bangkok, Thailand dan USAID.

Dana sebesar US$ 8 juta atau sekitar Rp 108 miliar pun mereka kucurkan dengan fokus ke empat negara: Indonesia, China, Filipina dan Thailand.

“Inisiatif ini dimaksudkan untuk memajukan kesejahteraan komunitas lesbian, gay, biseksual, transgender dan interseks (LGBT), dan mengurangi ketimpangan dan marginalisasi atas dasar orientasi seksual dan identitas gender (SOGI),” kata UNDP seperti dikutip dari situs resminya, Jakarta, Kamis (28/12)..

Inisiatif ini lanjut UNDP sebagai kolaborasi dengan masyarakat sipil, yang melibatkan institusi-institusi nasional dan regional guna memajukan hukum dan kebijakan protektif, serta memberdayakan masyarakat sipil. UNDP pun mengatakan jika proyek ini dimulai pada Desember 2014 hingga September 2017.

Disisi lain UNDP pun merinci sejumlah tujuan dari proyek kemitraan regional ini. Diantaranya mendukung kaum LGBTI untuk mengetahui hak-hak mereka dan mendapatkan akses ke pengadilan guna melaporkan pelanggaran-pelanggaran HAM.

Tujuan yang ingin dicapai pada proyek ini, yakni meningkatnya kemampuan organisasi-organisasi LGBTI untuk secara efektif memobilisasi, menyokong dan berkontribusi dalam dialog-dialog kebijakan dan aktivitas pemberdayaan komunitas.

Artikel ini ditulis oleh:

Editor: Bawaan Situs