Jakarta, aktual.com – Beberapa hari ini sedang viral di media sosial menggambarkan fenomena seorang pendakwah yang melakukan perbuatan kurang baik di hadapan Jamaah, terlebih ketika ia berada di panggung dakwah.
Perbuatan-perbuatan tercela dan kurang baik seperti itu sering kali dipamerkan dan ditunjukkan oleh mereka yang seharusnya memberikan pencerahan, mengajarkan kebaikan, dan mencontohkan perbuatan beradab kepada Jamaah.
Tidak hanya mencoreng nama baik da’I, bahkan mereka justru mencoreng Islam itu sendiri.
Sebenarnya, seperti apa da’I atau pendakwah yang benar itu?
Syekh Nawawi al-Bantani dalam kitabnya menyebutkan dengan tegas bahwa seorang da’I itu mesti orang yang memiliki kecerdasan baik secara emosional, keilmuan maupun spiritual. Karena seorang da’I mengemban amanah sebagai penyambung lidah Rasulullah Saw,
فَعُلِمَ أَنَّ كُلَّ مَنْ كَانَ قَلِيْلُ الْعَقْلِ لاَ يَصْلُحُ أَنْ يَكُوْنَ دَاعِيًا إِلَى اللهِ لِأَنَّ الَّذِىْ يُفْسِدُهُ أَكْثَرُ مِنَ الَّذِىْ يُصْلِحُهُ
“Telah diketahui bahwa setiap orang yang sedikit akalnya itu tidak layak menjadi pendakwah yang mengajak ke jalan Allah) karena dampak kemudharatannya lebih besar dibanding dengan kemaslahatannya”.
Mudharat yang lebih besar yang dimaksud oleh Syekh Nawawi al-Bantani yaitu karena ketika seseorang telah menjadi da’I atau pendakwah, masyarakat awam akan menghormati, menyanjung dan mengikuti setiap ucapan yang disampiakan oleh da’I tersebut. Bahkan terkadang membela kesalahan yang dilakukan oleh junjungannya, inilah yang disebut dengan taqlid buta.
Alasan ini telah disinggung oleh Imam Syafi’I dalam Diwan-nya,
فساد كبير عالم متهتك
وأكبر منه جاهل متنسك
هما فتنة في العالمين عظيمة
لمن بهما في دينه يتمسك
Artinya, “Kerusakan besar (dilakukan oleh) ulama yang tidak tahu malu lebih merusak dari itu (dilakukan oleh) orang bodoh yang zuhud/ Dua orang ini menjadi musibah besar di dunia bagi mereka yang menjadikan panutan keduanya dalam beragama,” (Diwan Al-Imam As-Syafi’i, [Beirut, Darul Kutub Al-Ilmiyyah: 1996 M]).
Selain seorang pendakwah itu mesti memiliki kecerdasan yang bagus, ia juga mesti mengerjakan apa yang ia dakwahkan kepada masyarakat. Sebagai contoh, ia mendakwahkan agar senantiasa bersedekah, maka seorang da’I harus melakukannya terlebih dahulu baru ia dakwahkan. Karena dakwah dengan perbuatan itu lebih baik daripada dakwah dengan lisan.
Syekh Ali Mahfudz dalam karyanya juga menegaskan hal yang serupa, beliau berkata:
إِنَّ الْعَالِمَ إِذَا لَمْ يَعْمَلْ بِعِلْمِهِ زَلَّتْ مَوْعِظَتُهُ عَنِ الْقُلُوْبِ كَمَا يَزَلُ الْقَطْرُ عَنِ الْصَّفَا.
“Seorang alim ketika tidak mengamalkan ilmunya terlebih dahulu, maka ceramah yang disampaikannya akan hilang dari hati para pendengar sebagaimana hilangnya tetesan hujan dari awan.”
Dua kriteria tersebut harus dipegang teguh oleh siapa pun yang berkehendak menjadi atau telah berperan sebagai da’i, sebab pesan dakwah tidak akan tersampaikan dengan efektif apabila sang penyampai tidak menampilkan keteladanan dan perilaku yang baik di tengah masyarakat.
Seorang da’i merupakan perantara risalah Rasulullah Saw. Oleh karena itu, jangan sampai peran tersebut justru menjadi sebab tercorengnya citra Islam.
Pada hakikatnya, seorang da’i tengah meminjam mimbar Rasulullah Saw, sehingga sudah sepatutnya amanah meminjam tersebut dijaga dan dikembalikan sebagaimana adanya, tanpa menimbulkan kerusakan sedikit pun.
Waallahu a’lam.
Artikel ini ditulis oleh:
Rizky Zulkarnain

















