Gara-gara kampanye pilpres Donald J Trump sarat dengan aroma SARA dan rasisme, semua kalangan neo-liberaolisme di pelbagai belahan dunia, sibuk menyorot bahaya populisme menyusul kemenangan Trump sebagai presiden. Benarkah sentimen anti Muslim, Anti Cina dan anti imigran asing memang agenda strategis Trump yang sesungguhnya?
Sepertinya tidak juga. Kampanye Pilpres Presiden Trum yang terkesan beraroma SARA itu, sejatinya hanya tebaran isu semata, sebagai landasan untuk memasuki adegan kedua, yaitu nasionalisasi perekonomian Amerika Serikat yang ditujukan ke dalam negeri, seperti slogannya yang dia kumandangkan: buy America, higher America.
Terkesan memang arah kebijakan Trump yang bermuara pada nasionalisasi perekonomian Amerika bertumpu pada proteksionisme, yang cenderung melindungi kepentingan warga Amerika sendiri dan menutup diri dari pengaruh dunia luar. Masalahnya apakah hanya sampai di situ? Agaknya keliru jika kebijakan proteksionis ekonomi AS dianggap merupakan tujuan pokok Trump.
Berdasarkan serangkaian kajian yang dilakukan oleh Global Future Institute, ada indikasi kuat yang amat mengkhawatirkan menyusul penunjukkan Rex Tellerson sebagai menteri luar negeri pemerintahan Presiden Trump.
Betapa tidak. Tellerson tercatat pernah menjadi CEO ExxonMobil Berarti, di balik gegap-gempita proteksionisme ekonomi AS, sasaran strategis Trump tetap sama dengan para pendahulunya: menguasai SDA, khususnya minyak bumi dan tambang.
Maka itu, tebar isu SARA saat ia berkampanye hanya sekadar landasan untuk membangun nasionalisasi perekonomian AS, karena skema dasarnya tetap diarahkan untuk melakukan restrukturisasi tata ekonomi-politik dunia baru yang mungkin bakal semakin monopolistik dan terpusat di tangan AS dan sekutu-sekutunya di Eropa Barat.
Dengan kata lain, kecenderungan AS dan blok Uni Eropa untuk menerapkan kutub tunggal atau unipolar, agaknya semakin terkondisi di era Trump.
Dengan begitu, kekhawatiran dan kegalauan kalangan neoliberal di pelbagai belahan dunia, termasuk di Indonesia, bahwa dunia internasional akan diwarnai oleh gelombang proteksionisme dan populisme, justru malah luput untuk menyorot agenda tersembunyi Trump dan blok Eropa Barat dalam rangka untuk melestarikan keberlangsungan dominasi dan hegemoni kapitalisme global mereka di dunia.
Dengan begitu proteksionisme, ekonomi merkantilisme dan populisme hanya perangkat pendukung untuk pengondisian ke arah tata ulang orde ekonomi-politik dunia baru yang tidak bersifat multi-polar sebagaimana prediksi dan harapan kaum neoliberal di AS dan Eropa, melainkan uni polar alias pengkutuban tunggal.
Berarti, Isu-isu yang cenderung rasis sekadar alat untuk cipta kondisi menuju tahapan berikutnya yaitu nasionalisasi perekonomian AS yang mengarah ke skema: terbentuknya tata ekonomi dunia baru yang unipolar dan tersentralisir di tangan AS dan para sekutu strategisnya di Eropa Barat terutama Inggris, yang kemungkinan akan diikuti oleh Perancis dan Jerman.
Saat ini, domino effect-nya sudah semakin terlihat menyusul keluarnya Inggris dari Uni Eropa, seperti yang sekarang popular dengan sebutan Brexit. Bahkan Perdana Menteri Inggris pun sudah mengisyaratkan untuk menerapkan kebijakan strategis yang sehaluan dengan Trump. Bahkan Presiden Perancis Holande juga mulai mengisyaratkan hal yang sama.
Dalam konstelasi yang demikian, maka implikasi kebijakan Trump bisa diprediksi, yaitu menyudutkan Cina dalam kiprahnya dalam perekonomian dunia. Sehingga pada perkembangannya akan memantik reaksi keras dari Cina.
Tampilnya Trump sebagai presiden AS, saya kira cocok dengan prediksi Samuel Huntington dalam bukunya yang terkenal The Clash of Civilization bahwa akan terjadi perang terbuka AS vs Cina. Ini agaknnya makin mendekati kenyataan, meskipun terbatas dan terlokalisasi di Laut Cina Selatan dan Semenanjung Korea.
Karenanya, menggemakan kekhawatiran bakal munculnya proteksionisme maupun populisme sebagai salah satu bentuk dari upaya Trump untuk memanipulasi sentimen psikologi massa rakyat Amerika, nampaknya bukan substansi masalah sesungguhnya. Ini sekadar fenomena permukaan dan dangkal.
Adapun substansi dari fenomena ini yang kiranya harus dicermati, yakni adanya krisis di dalam tubuh kapitalisme di kedua kawasan tersebut.
Manuver Trump menggambarkan adanya upaya yang sadar dan terencana untuk menata ulang skema kapitalisme global yang sejak pasca Perang Dingin nampaknya tidak berjalan sesuai rencana, karena menimbulkan berbagai komplikasi ekonomi dan politik yang—dalam jangka panjang—justru membahayakan keselamatan sistem kapitalisme itu sendiri.
Benarkah keputusan Trump untuk menghentikan keterlibatannya dengan Trans Pacific Partnership (TPP) memang benar-benar merupakan sikap anti-globalisasi AS? Apakah langkah surut Trump sebenarnya menandakan adanya suatu tata ulang ekonomi-politik dunia baru yang sedang dia rencanakan di luar skema TPP?
Di sinilah pentingnya memandang fenomena Trump dalam perspektif krisis Kapitalisme gl0obal saat ini.
Dalam pandangan beberapa pakar ekonomi-politik klasik seperti Hilferding, Rosa Luxemburg, yang kemudian juga dikembangkan melalalui pandangan dan pemikiran Bung Karno sejak akhir 1020-an, ketika kapitalisme menuju ke ambang krisis, maka tiada lain untuk menyelamatkan krisis kapitalisme yang niscaya menuju keruntuhannya, maka hal itu harus dicegah dengan memunculkan kapitalisme negara yang didukung oleh otoritas militer. Itulah kemudian yang kita kenal sebagai fasisme.
Yang membedakan kalangan nasionalis kerakyatan dan kaum neoliberal dalam memandang fenomana kemunculan atau kebangkitan kembali fasisme yang biasanya memang didahului oleh fenomena kemunculan populisme, terletak dalam kerangka analisis dalam memaknai kemunculan populisme, merkantilisme ekonomi maupun proteksionisme.
Kalangan neoliberal, termasuk yang ada di Indonesia, cenderung memandang kebangkitan fasisme murni sebagai sesuatu yang berdiri sendiri, dan tidak memandang munculnya fasisme merupakan konsekwensi logis dari krisis yang terjadi di negara-negara penganut sistem ekonomi kapitalisme dan sistem politik liberal seperti yang ada di Amerika Serikat, Inggris, Perancis, Jerman dan sebagainya.
Kalangan nasionalis kerakyatan, utamanya Bung Karno dan Bung Hatta, yang kelak menjadi presiden dan wakil presiden pertama di era awal Indonesia merdeka, memandang fenomena fasisme sebagai anak kandung dari kapitalisme. Sehingga solusi pemecahan krisis tersebut, bukan melawan fasisme seakan-akan sebagai sesuatu anomali dari sistem kapitalisme global. Melainkan justru menyusun suatu kontra skema untuk mematahkan skema kapitalisme global dari akar tunjangnya. Bukannnya malah menghadapi fasisme seakan sebagai suatu penyimpangan dari kapitalisme dan demokrasi.
Bisa dibayangkan jika Bung Karno dan Bung Hatta saat jelang kedatangan Jepang menjajah Indonesia pada 1942 semata disikapi sebagai fenomena kebangkitan fasisme? Mungkin saat ini Indonesia belum merdeka. Karena gagal paham membaca fenomena fasisme sebagai pertanda kebangkrutan kapitalisme dan imperialisme Eropa di abad 20.
Cara pandang dan kerangka analisis kaum neoliberal di pelbagai belahan dunia, termasuk Indonesia, pada perkembangannya justru luput untuk melihat manuver Trump untuk menata ulang skema kapitalisme global yang sejak pasca Perang Dingin nampaknya tidak berjalan sesuai rencana, karena menimbulkan berbagai komplikasi ekonomi dan politik yang—dalam jangka panjang—justru membahayakan keselamatan sistem kapitalisme itu sendiri.
Pada tataran ini, kaum neoliberal gagal memandang tren pergeseran sentra geopolitik dan konflik global dari kawasan Timur Tengah dan Asia Tengah (Heartland) sejak dekade 2000-an, yang telah memunculkan tiga kekuatan baru sebagai the emerging countries yaitu Cina, Rusia dan India.
Ketiga negara ini dengan segala variannya, berhasil membangun kekuatan penyeimbang seperti Shanghai Cooperation Organization (SCO) yang dimotori Cina-Rusia, maupun blok kerjasama ekonomi melalui skema BRICS (Brazil, Rusia, India, Cina dan Afrika Selatan). Meskipun blok kerjasama ekonomi ini belum maksimal dan masih cukup rawan dalam membangun kekompakannya sebagai sebuah aliansi strategis, namun sudah cukup mengganggu dan membuat ketiga negara itu semakin diperhitungkan di berbagai forum internasional baik secara bilateral maupun multilateral.
Di sinilah, babak baru konfllik AS versus Cina menyusul terpilihnya Trump sebagai presiden AS, bisa menjadi pemantik memanasnya persaingan global di kawasan Asia Pasifik. Sehingga bagi negara-negara asia seperti Jepang, Cina, India, dan tentunya Indonesia, kiranya perkembangan ini jauh lebih krusial untuk diantisipasi.
Sebab hal ini akan berdampak langsung secara ekonomi-politik, pertahanan-keamanan dan bahkan sosial-budaya, terhadap kawasan Asia-Pasifik, ASEAN, termasuk Indonesia. Kenapa? Sesuai dengan prediksi banyak kalangan pakar, kawasan Asia Pasifik abad 21 bakal jadi arena perebutan antar negara-negara adikuasa seperti Amerika Serikat, negara-negara Eropa Barat, Australia, Jepang dan Cina. Dalam kosntalasi demikian, Amerika dan blok Eropa Barat sejak awal 2000 lalu, sangat mengkhawatirkan persekutuan strategis Cina-Rusia.
Ketika tahun 2001 Cina-Rusia bersepakat membentuk SCO terkesan kerjasama kedua negara hanya di lingkup ekonomi-perdagangan dan keamanan. Namun pada perkembangannya SCO ternyata merupakan persekutuan strategis Cina-Rusia untuk membendung AS di kawasan Asia Tengah.
Namun menariknya, sekarang situasi berubah, menyusul semakit eratnya hubungan Trump dan Presiden Vladimir Putin sejak kampanye pilpres AS lalu. Apalagi ketika Putin terang-terangan mendukung Trump, sehingga muncul sinyalemen bahwa persekutuan strategis Washington-Moskow agaknya sedang dirancang secara sadar dan terencana sejak awal. Anehnya, hal itu justru semakin mendekati prediksi Huntington dalam bukunya yang terkenal, the Clash of Civilization.
Dalam prediksi Huntington, ketika pecah perang AS vs Cina, AS tetap solid bersama blok NATO plus Rusia. Sedangkan Cina akan bersekutu dengan beberapa negara Islam seperti Iran, Pakistan dan Arab Saudi. Prediksi Huntington satu dekade yang lalu praktis dianggap omong kosong dan khayalan belaka. Namun dengan kemunculan Trump dengan segala kemungkinan implikasinya itu agaknya mendekati prediksi Huntington. Khususnya dengan semakin mesranya Trump-Putin.
Lantas, apa yang sesungguhnya hendak ditujju oleh Trump? Strategi dasar Trump adalah cipta kondisi yang mengarah pada kemungkinan penggunaan kekuatan militer, atau setidaknya, ke arah ketegangan politik dengan atmosfer militer di Laut Cina Selatan maupun Semenanjung Korea, kecuali para pihak dapat menemukan formula politik dan diplomasi yang saling mengakomodasi.
Salah satu skenario terburuk yang harus diantisipasi adalah kemungkin adanya pergantian atau perubahan peta politik dunia. Inilah pelajaran penting dari Perang Dunia I dan Perang Dunia II yang selalu diakhiri dengan pergantian peta politik dunia. Pertanyaannya adalah, apakah Trump dengan dukungan dari konsorsium global, akan merealisasikannya melalui perang militer atau melalui kombinasi dengan perang nir-militer, atau yang sering saya sebut sebagai Perang Asimetris? Apapun pilihan strateginya, skenario terburuk ke arah itu yang seharusnya diantisipasi.
Salah satu gelagat untuk membaca adanya tren global ke arah ini, adalah manuver pemerintah Jepang melalui momentum lawatan Presiden Jokowi ke Jepang beberapa waktu lalu. Ketika Jokowi bertemu Perdana Menteri Shinzo Abe di Tokyo, Jokowi menawarkan tiga proyek kerjasama kepada Jepang. Pertama, kerjasama mengelola Pulau Sabang, Nangroe Aceh Darusalam, dalam pembangunan bandara dan pelabuhan. Kedua, kerjasama mengelola Pulau Morotai, Maluku, untuk bidang pariwisata, dan ketiga, kerjasama mengelola Riau di bidang perikanan.
Terkesan di permukaan, itu hanya peristiwa kerjasama ekonomi Jepang-Indonesia semata. Tapi benarkah demikian? Menurut amatan Aktual, justru ini merupakan pertanda bahwa Jepang sudah satu dua langkah lebih maju daripada Indonesia, mengantipasi kemungkinan pergeseran dan perubahan konstalasi global beberapa tahun mendatang, utamanya di kawasan Asia Pasifik.
Kalau kita baca ulang buku karya Huntington tersebut, dalam prediksi Huntington Jepang akan bersikap netral dan tidak ikut dalam kedua kutub yang berperang. Kalau prediksi itu benar, ini perkembangan menarik, mengingat sejak berakhirnya Perang Dunia II, AS-Jepang terikat dalam kerjasama keamanan sehingga dalam bidang politik dan keamanan, AS dan Jepang praktis merupakan sekutu strategis. Khususnya selama era Perang Dingin.
Selain itu, Huntington memandang Indonesia, India dan Australia, akan muncul sebagai kekuatan baru dunia pasca perang kedua kutub tersebut. Dengan kata lain setidaknya Indonesia dan India, dipandang Jepang sebagai dua kekuatan besar yang dalam situasi peang AS versus Cina nanti, akan bersikap Non Blok. Mungkinkah Jepang bemaksud mengantisipasi situasi tersebut sehingga negeri sakura tersebut akan ikut bergabung dalam kutub Non Blok bersama-sama dengan Indonesia dan India? Jika benar demikian, berarti tiga opsi tawaran kerjasama yang diajukan kementerian maritim saat lawatan Jokowi ke Jepang, bukan tidak mungkin sudah diadakan lobi terlebih dahulu antara Indonesia dan Jepang.
Sehingga kerjasama ekonomi kedua negara di salah satu dari kemungkinan mengelola Pulau Sabang, Pulau Morotai dan Natuna di Riau, sejatinya hanya sekadar “mahar” dari suatu kerjasama strategis dalam jangka panjang. Khawatirnya, justru Jepang yang lebih dahulu memahami nilai strategis di balik kerjasama di tiga pulau tersebut, daripada Indonesia.
Maka, meskipun tawaran kerjasama itu resminya datang dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, pastinya tiga opsi tersebut sudah merupakan hasil lobby Indonesia-Jepang. Sebab Morotai dan Sabang(baca: Sumatera), dalam pandangan Jepang sejak menyerbu Indonesia pada 1941-1942, dipandang sebagai daerah jantung Indonesia.
Jepang ketika menjelang serbuan militernya ke Indonesia pada 1942, menyadari betul bahwa pancangan kaki kekuasaan kolonial Inggris membentang dari Asia Tenggara (Myamnar, Brunei Darussalam, Malaysia, Singapura) maupun Srilanka, India, Pakistan (waktu itu Bangladesh masih menyatu dengan Pakistan).
Maka konsekuensinya adalah, untuk memotong mata-rantai kekuasaan Inggris dan tentunya juga AS, pengusaan Sumatera sebagai Nucleus Zone atau Daerah Inti menjadi penting artinya. Di sinilah nilai strategis Aceh (Sabang) dan Palembang secara geopolitik bagi Jepang.
Oleh karena itu, bagi Jepang menguasai Palembang-Sumatra Selatan jauh lebih penting daripada menguasai Singapura. Menghadang Inggris-AS di Perang Dunia II, cukup menguasai wilayah-wilayah yang terletak di mulut Selat Malaka seperti Aceh, termasuk Pulau Sabang yang terletak di mulut Lautan Hindia. Sedangkan menguasai Morotai berarti membuka akses menuju penguasaan jalur Samudra Pasifik.
Patut disayangkan, tren global berbasis geopolitik inilah yang sepertinya agak diabaikan dan dianggap sepi oleh para pemangku kepentingan kebijakan luar negeri RI. Sehingga jangan-jangan, pemerintahan Jokowi-JK dalam mersspons prospek kerjasama Jepang-Indonesia hanya dipandang sebagai fenomena kerjasama ekonomi dan perdagangan belaka. Tidak mampu memandang dimensi strategis dari arah kerjasama ekonomi RI-Jepang berbasis geopolitik.
Pada sisi lain, kembali ke soal Trump, minyak bumi dan aneka jenis tambang masih merupakan sasaran strategis AS di era Trump alias tidak ada perberubahan, yakni memastikan pengusaaan SDA dan keuangan tetap berada di tangan korporasi global AS yang berada dalam jaringan Rothschild, JP Morgan dan Rockefeller.
Dalam situasi demikian, kebijakan proteksionisme ekonomi pemerintahan Trump, termasuk rencananya untuk menarik investasinya di luar negeri, nampaknya hanya untuk dijadikan alat penekan dan ancaman bagi negara-negara berkembang yang kaya sumberdaya alam, agar mereka memberikan konsesinya semaksimal mungkin bagi kepentingan korporasi, baik melalui gun boat diplomacy maupun melalui sarana-sarana kemiliteran.Inilah aspek krusial dari kasus perpanjangan Freeport di Papua pada 2021 mendatang.
Selain itu, satu lagi hal yang perlu diantisipasi. Yaitu menelisik apakah kebijakan luar negeri Trump masih merujuk pada blueprint tmantan Presiden George W Bush, yakni Project New American Century (PNAC). Jika masih digunakan, berarti cepat atau lambat Trump akan menerapkan militerisasi politik luar negerinya, setidaknya di wilayah Laut Cina Selatan dan Semenanjung Korea. Ini tentu akan membawa implikasi terciptanya instabilitas politik dan keamanan di kawasan Asia Pasifik, dan Asia Tenggara pada khususnya.
Lebih buruk dari itu, Program Poros Maritim Dunia presiden Jokowi bisa jadi tidak akan relevan lagi, karena dalam konsepsi yang kelak kita kenal sebagai Global Maritem Fulcrum itu, akan berhasil atas dasar asumsi jika di kawasan Asia Pasifik dan Semenanjung Korea dalam suasana damai dan stabil.
Inilah pentingnya bagi kita untuk sadar geopolitik.
Hendrajit, Pemimpin Redaksi Aktual