Penyebab lain pembengkakan kuota LPG 3 kg salah satunya belum diterapkannya subsidi langsung ke masyarakat. Padahal, skema ini dinilai bisa menekan pemakaian subsidi 3 kg. Apalagi bagi pihak yang tidak berhak menerima.
Sekretaris Jendral (Sekjen) Kementerian ESDM, Ego Syahrial menjelaskan bahwa penundaaan integrasi subsidi dengan kartu keluarga sejahtera itu lantaran masih tengah berlangsung dilakukan validasi data.
“Memang benar idealnya kita mau melaksanakan itu (subsidi langsung). Cuma realistisnya, dana bantuan sosial yang dikoordinasikan Kemensos baru setengah karena verifikasi lapangan dan segala macam. Tidak semudah itu,” ungkap Ego Syahrial.
Selain itu, Direktur Pemasaran PT Pertamina mengungkapkan banyaknya masyarakat menggunakan elpiji melon karena rentang atau jarak harga yang terlalu jauh dari produk elpiji melon dengan elpiji nonsubsidi 5,5 kilogram.
“Sesuai peraturan, gas melon dijual seharga Rp16.700 per tabung, sedangkan gas 5,5 kg dijual Rp 65.000 per tabung. Gap harganya agak besar. Makanya kami berencana keluarkan elpiji 3 kg nonsubsidi,” ujar Iskandar Jumat (8/12/2017).
Untuk diketahui, Bright gas isi 5,5 kg bukan bahan bakar gas yang disubsidi pemerintah sehingga harganya lebih mahal dari elpiji melon. Harga resmi isi ulang dari agen ke outlet yakni Rp59 ribu. Sedangkan dari agen atau outlet ke konsumen dilepas Rp65 ribu. Sedangkan harga jual tabung berikut isinya, yakni Rp247 ribu namun di lapangan ada yang menjual sampai Rp350 ribu per tabungnya. Jadi rata-rata harga Elpiji subsidi sebesar Rp5 ribu per kg, sedangkan nonsubsidi Rp11 ribu per kg. Ada perbedaan harga antara Elpiji 3 Kg dan non PSO sebesar Rp6.200 per Kg.
Hingga saat ini belum ada informasi lebih lanjut terkait berapa harga yang akan dijual oleh Pertamina untuk gas elpiji 3 kg nonsubsidi.
“Kami perlu rumuskan untuk Bright Gas 3 kg itu untuk alternatif ke masyarakat supaya lebih mudah. Elpiji 3 kg nonsubsidi ini akan kita launching Maret tahun depan (2018),” kata Iskandar.
Namun, apakah karena salah kebijakan kemudian serta merta rakyat menjadi korban. Semula menggunakan minyak tanah, kemudian dipaksa menggunakan elpiji, dan akhirnya harga elpiji menjadi mahal dan terbatas.
Diberbagai belahan nusantara, harga jual elpiji melon di pangkalan terpaut jauh dengan harga yang bisa sampai ke konsumen. Harga Eceran Tertinggi (HET) di Pangkalan Rp16 ribu per tabung namun sampai ke konsumen bisa sampai Rp30 ribu per tabung. Apakah ini yang dimaksud pemburu jaringan rente/mafia elpiji skala kecil?
Penulis: Ismed Eka dan Dadangsah
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta
Eka