Jakarta, Aktual.com – Kembali pada persoalan dinamika harga minyak dunia menempatkan Indonesia pada posisi dilematis dan semakin jauh dari kedaulatan energi. Bisa dilihat di saat harga minyak dunia mengalami terjun bebas, hulu migas nasional semakin meredup dan membawa dampak buruk pada perekonomian nasional.
Faktor ketidakekonomian lapangan menjadi alasan para Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) untuk menahan investasi, sehingga Wilayah Kerja (WK) Migas yang ditawarkan oleh pemerintah tidak laku.
Padahal investasi hulu migas ini sangat dibutuhkan sebagai mobilisator perekonomian nasional. Menurut Indonesia Petroleum Association (IPA) bahwa setiap USD1 juta nilai investasi yang masuk di hulu migas akan menciptakan 100 lapangan kerja dan memberikan nilai tambah perekonomian pada masyrakat hingga USD1,6 juta, karenanya penurunan investasi di sektor hulu migas telah menjadi salah satu penyebab memburuknya tingkat pertumbuhan ekonomi terutama pada daerah penghasil migas.
Harus diakui upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk mendorong invesati hulu migas di saat mengalami keterpurukan dengan merevisi Peraturan Pemerintah Nomor: 79 Tahun 2010 menjadi Peraturan Pemerintah Nomor: 27 Tahun 2017 yang mana aturan ini meringankan perpajakan bagi para investor. Namun yang menjadi kontroversi dan menuai perdebatan, yakni kebijakan pemerintah mengganti skema bagi hasil migas dari sistem cost recovery menjadi gross split melalui Peraturan Menteri (Permen) ESDM No 8 Tahun 2017.
Efektifitas peraturan ini menjadi tantangan tersendiri yang akan terjawab seiring berjalannya waktu, namun yang pasti gejolak penolakan kebijakan ini tak bisan dinafikkan hingga hanya dalam hitungan beberapa bulan, aturan itu direvis menjadi Permen ESDM No 52 Tahun 2017.
Demikian gambaran betapa menjeritnya Inonesia ketika menghadapi penurunan harga minyak dunia. Lalu ketika harga minyak dunia menglami reborn, Indonesia tak kalah terpukul. Bagaimana tidak, dengan kemampuan lifting nasional di kisaran 800 ribu barrer per hari (BOPD), demikian juga kemampuan produksi kilang hanya kisaran 800 BOPD tidak mampu menutupi kebutuhan konsumsi BBM nasional sebesar 1,6 juta BOPD. Sehingga sisanya diperoleh melalui Impor yang menguras devisa negara dan melonjaknya harga BBM.
Ketergantungan pada impor ini disadari menjadi ancaman atas kebutuhan energi nasional. Karenanya pemerintahan Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) telah mencanangkan peningkatan kemampuan produksi kilang melalui program prioritas baik dengan cara melakuan Grass Root Refinery (GRR) maupun Refinery Development Master Plan (RDMP).
Dadangsah Dapunta
Artikel ini ditulis oleh:
Dadangsah Dapunta