Jakarta, Aktual.com — Keberpihakan pemerintah dalam mendukung kemajuan budaya Betawi memang tak lepas dari peran pemerintah, dalam hal ini peran dari Gubernur DKI Jakarta.
Pasalnya, di era 1970-an ketika Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin mulai memperhatikan budaya Betawi, justru berdampak kepada semakin besarnya kekuatan masyarakat untuk menunjukkan eksistensi budayanya.
“Setelah ada stimulus kebijakan dari Bang Ali (Gubernur Ali Sadikin), kebudayaan Betawi menaik dan menjadi warna di era 1970-an. Ini semua karena adanya stimulus politik kebudayaan di tingkat pemerintah,” ujar pakar budaya Betawi dari UI JJ Rizal dalam diskusi Aktual Forum bertema ‘Tantangan Budaya Betawi dalam Arus Liberalisasi Global’ di Jakarta, Minggu (6/3).
Menurut Rizal, di tengah Jakarta yang menjadi kota kosmopolitan, membuat budaya Betawi sendiri menjadi semakin heterogen. Contoh, dalam adat perkawinan budaya Betawi yang sangat berinfiltrasi budaya asing, seperti dari China, Arab, Eropa, dan tentu melayu itu sendiri.
“Justru dengan pengaruh budaya asing itu budaya Betawi semakin kuat. Sehingga budaya Betawi bukan mati justru membesar. Apalagi semua orang yang tinggal di Jakarta justru menggunakan bahasa Betawi.”
Meski begitu, peran pemerintah memang harus ikut campur untuk semakin menunjukkan identitas budaya Betawi di masa depan. “Karena sejak Bang Ali tidak memimpin lagi, justru tidak ada keberpihakan pimpinan DKI terhadap budaya Jakarta. Yang ada orang Betawi kerap menjadi wakil.”
Dulu, cerita dia, ketika sebelum tahun 1970-an orang Jakarta membuat perkumpulan tidak ada yang menggunakan kata Betawi. Baru setelah ada stimulus politik kebudayaan itu mulai marak muncul ormas dengan identitas nama Betawi.
“Tapi sayangnya, setelah Bang Ali tidak menjabat lagi, tidak ada gubernur yang serius melanjutkan konsep budaya Betawi. Bahkan hingga kini, keberpihakan pemerintah kota dalam konteks pengembangan budaya Betawi jadi mengenaskan.”
Artikel ini ditulis oleh:
Wisnu